Jalan Terjal Komitmen Menghapus Penyiksaan: Negara Nihil Aksi, Malah Dramatisasi
INFONUSANTARA.NET, Padang, 26 Juni 2023 — Hari ini, Indonesia sebagai bagian warga dunia, ikut memperingati Hari Anti Penyiksaan sedunia. Hari bersejarah di mana Majelis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada tanggal 10 Desember 1984 bersama Negara-negara pihak sepakat mendeklarasikan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Resolusi No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Indonesia sendiri meratifikasi pada 28 September 1998 melalui UU No. 5 tahun 1998 dan karenanya, Indonesia sebagai Negara Pihak harus tunduk pada Konvensi sebagaimana diatur secara konstitusional.
Namun, 25 tahun pasca ratifikasi, kasus-kasus Penyiksaan justru beranak pinak dengan subur di tubuh institusi penegak hukum. Yang lebih memprihatinkan lagi, impunitas pelakunya terus berulang dan langgeng dengan mengatasnamakan penegakan hukum dan ketertiban umum.
Praktek Penyiksaan Langgeng Dan Pembiaran oleh Negara
Sepanjang 2020-2023 PBHI Sumbar intens melakukan penyuluhan dan konsultasi hukum di Rutan Anak Aia, dan 6 bulan terakhir ini mencatat, 30 warga binaan mendapatkan bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, lalu 10 diantaranya, menjadi korban penyiksaan dalam proses penyidikan di Kepolisian. Penyiksaan dilakukan rata-rata dengan motif untuk mengejar dan mendapatkan pengakuan dari tersangka.
Dari 10 kasus, 1 orang diantaranya “DS” mengalami penyiksaan pada saat proses penyidikan di Kepolisian Sektor Koto Tangah. Akibat dari penyiksaan tersebut DS sempat dirawat di RS Bhayangkara. Selama menjalani perawatan, keluarga dari pihak korban tidak di beri izin membesuk oleh kepolisian, DS ditangkap pada tanggal 14 April 2023. Pihak keluarga baru bisa bertemu dengan DS pada tanggal 4 Mei 2023 di RS Bhayangkara, dalam kondisi sangat memprihatinkan. Kondisi ini tentu menyedihkan dimana penegakan hukum pidana yang semestinya bernafaskan semangat keadilan dan kepatuhan hukum, justru dilakukan dengan melanggar hukum, dan berdampak luka fisik maupun psikis akibat penyiksaan.
Pada proses hukum tingkat kepolisian, praktik penyiksaan mengatasnamakan penegakan hukum, melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 11 menegaskan, “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan, pelecehan, penghukuman yang tidak manusiawi, melakukan kekerasan dan/ senjata api”.
Di samping dalam bentuk tindakan (by action), pelanggaran HAM lewat penyiksaan juga termasuk pembiaran atau pengabaian (by omission) terjadinya dugaan tindak kekerasan oleh aparatur negara sebagaimana yang terjadi dalam kasus kematian Syafrial di LAPAS Lubuk Basung. Kasus ini telah dilaporkan keluarga melalui surat tanggal 15 Januari 2022 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan dan pemeriksaan saksi tanggal 22 Februari 2022.
Pada pertemuan dengan KasatReskrim Polres Lubuk Basuang, beserta jajarannya disepakati bahwa untuk pembuktian akan dilakukan otopsi dan pemeriksaan CCTV, namun sampai saat ini, para pelapor belum mendapatkan penjelasan mengenai perkembangan kasus tersebut.
Kedua kasus penyiksaan di atas adalah gambaran bahwa masih lemahnya bahkan tidak efektifnya mekanisme pengawasan dan tindakan internal institusi penegak hukum. Meskipun institusi penegak hukum memiliki sejumlah aturan dan standar penanganan kasus, namun mekanisme pengawasan internal untuk mencegah dan menindak praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum masih sangat lemah. Akibatnya, pemberian sanksi pidana yang tegas terhadap pelaku penyiksaan sangatlah langka.
Berdasarkan catatan-catatan yang disebutkan diatas, PBHI Sumbar mendesak agar :
Negara Republik Indonesia cq Pemerintah untuk berkomitmen dengan sungguh-sungguh memperbaiki sistem penegakan hukum (pidana) mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian hingga proses persidangan agar tidak lagi terbuka ruang-ruang bagi penegak hukum melakukan pembenaran metode penyiksaan dalam mengejar keterangan dan pengakuan tersangka. Hal tersebut dapat terlasana jika Negara sesegera mungkin meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi Menentang Penyiksaan ( Optional Protocol Convention Again Torture) demi menakar dan membangun standar kebijakan pencegahan praktek penyiksaaan secara serius yang kerap terjadi ditempat-tempat penahanan.
Negara Republik Indonesia Cq Pemerintah kemudian dengan bersungguh-sungguh menerbitkan regulasi yang efektif untuk pemulihan hak-hak korban penyiksaan, karena regulasi yang ada saat ini belum mampu menjamin, melindungi serta memenuhi hak-ha korban penyiksaan.
Negara Republik Indonesia cq Pemerintah segera membentuk instrument hukum yang mengatur secara khusus mengenai delik Penyiksaan, karena pada penerapannya laporan dari korban penyiksaan selalu dilekatkan kepada Pasal Penganiayaan dalam KUHP, sementara Penyiksaan tidaklah sama dengan Penganiayaan.
Komnas HAM melakukan penyelidikan khusus terhadap berbagai kasus penyiksaan yang telah melembaga dan terus terjadi dalam proses peradilan pidana khususnya di tubuh kepolisian maupun di institusi penegak hukum lainnya.
Pemerintah harus mengambil langkah serius dan terukur melalui kebijakan holistik dan komprehensif, yang bisa menyasar di level nasional hingga daerah, untuk menjawab masalah di atas. Komnas HAM dan KuPP (Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, harus bekerja cepat dan cermat, serta mengukur target capaian yang progresif ke depannya.
Merangkul dan mengajak public untuk terus aktif menyuarakan penentangan terhadap praktek penyiksaan serta berani menempuh upaya hukum untuk mencegah dan menindak pelaku praktek penyiksaan.
Perhimpunan Bantuan Hukum Dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sumbar
Ihsan Riswandi (Ketua Badan Pengurus Wilayah)