Unjuk rasa ketika menolak UU Cipta Kerja (Antara Foto/Moch Asim) |
Salah satu yang menolak Perppu Cipta Kerja adalah Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia).
Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat menilai, rakyat Indonesia saat ini lebih butuh Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja.
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dengan kewajiban kepada Pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun, menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta larangan menerbitkan peraturan pelaksana baru sebagai turunan dari Undang Undang Cipta Kerja.
Menurut Mirah, bila ingin memenuhi rasa keadilan masyarakat dan memberikan kepastian hukum sesuai Putusan MK, seharusnya pemerintah menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja.
“Mengembalikan berlakunya seluruh Undang Undang yang terdampak Omnibus Law. Termasuk kembali memberlakukan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan beserta seluruh peraturan turunannya,” kata Mirah, dilansir dari CNN Indonesia, Sabtu (31/12).
Selain itu, dia juga berpendapat, Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja khususnya kluster Ketenagakerjaan bisa berdampak buruk karena membuat pekerja Indonesia semakin miskin.
“Hal ini karena Undang Undang Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial bagi pekerja Indonesia,” jelasnya.
ASPEK Indonesia menuntut pemerintah untuk menerbitkan Perppu Pembatalan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja demi menjamin hak kesejahteraan rakyat Indonesia dan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum.
“Jangan karena Pemerintah dan DPR gagal memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan perbaikan dalam dua tahun, kemudian justru memaksakan pemberlakuan Undang Undang Cipta Kerja melalui Perppu,” terang Mirah.
Sebelumnya, ASPEK Indonesia bersama seluruh organisasi serikat pekerja mengkritisi isi UU Cipta Kerja. Poin-poin yang ditolak tersebut antara lain,
– Sistem kerja outsourcing yang diperluas tanpa pembatasan jenis pekerjaan.
– Sistem kerja kontrak yang dapat dilakukan seumur hidup, tanpa kepastian status menjadi pekerja tetap.
– Sistem upah murah, yang menetapkan upah minimum hanya berdasarkan inflasi atau pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhitungkan kebutuhan hidup layak rakyat Indonesia.
– Hilangnya ketentuan upah minimum sektoral provinsi dan kota/kabupaten.
– Kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan. Termasuk hilangnya ketentuan PHK harus melalui Penetapan Pengadilan.
– Berkurangnya kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) pesangon dan penghargaan masa kerja.
– Kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA), bahkan untuk semua jenis pekerjaan yang sesungguhnya bisa dikerjakan oleh pekerja Indonesia, serta hilangnya kewajiban mampu berbahasa Indonesia bagi TKA.
Sumber:CNN Indonesia