INFONUSANTARA.NET – Perbincangan (Pilwana) Pemilihan Wali Nagari yang akan digelar di beberapa daerah di Sumatera Barat tahun 2024 tidak kalah hangat dibandingkan pilpres 2024.
Sering kita mendengar guyon setengah serius dilapau kopi kalau bukan suku A, atau suku B jangan bermimpi untuk menjadi wali nagari. Tidak akan menang! Karena secara kuantitas suku tersebut jumlah anak kemenakan atau wajib pilih mendominasi di nagari tersebut.
Cerita lapau ini juga akan membuat panas telinga mendengarnya bagi kita yang secara suku jumlah anak kemenakan tidak banyak.
Dalam Struktur Pemerintahan Negara Republik Indonesia, pemerintah terendah adalah Nagari atau Desa. Pemilihan wali nagari adalah pesta demokrasi memilih pemimpin ditingkat nagari.
Hasil dari pemilihan ini diharapkan terpilih pemimpin yang berkualitas yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Nota bene nya bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua masyarakat nagari tersebut.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa calon dari suku A, atau suku B tidak berkualitas. Jika cara berpikir kita tidak berubah dari dominasi sukuisme menjadi pemilih rasional, maka kapan kita akan mendapatkan pemimpin yang berkualitas ?
Rasional dalam artian melihat calon pemimpin dari segala aspek, alur dengan patut. Ditinjau dari aspek Kapasitas, kapabilitas dan lain sebagainya.
Membangun Indonesia dari Desa atau Nagari. Menyalakan lilin-lilin desa artinya perubahan Indonesia itu dimulai dari desa atau nagari. Jika cara berpikir kita untuk memilih nagari tidak rasional kapan perubahan itu akan terwujud?
Fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di Nagari, apakah kita akan terus mengutuk kegelapan tanpa pernah mulai menyalakan lilin? Saya kira ini adalah tugas kita semua untuk memperbaiki cara berpikir menjadi pemilih rasional. Dominasi sukuisme dengan cara berpikir tradisional jika tidak segera diperbaiki saya kira akan berdampak buruk terhadap kualitas demokrasi terutama ditingkat nagari.
Jika fenomena ini dibiarkan terus menerus maka yang kita sayangkan adalah sempitnya peluang untuk generasi unggul yang berkualitas tapi secara suku di nagari minoritas. Saya kira semua anak nagari tanpa dipandang apapun suku nya semua punya kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin di nagari.
Membangun nagari tidak bisa dari satu suku atau golongan saja, tapi Bersama-sama dengan semangat Fastabiqhul Khairot, berlomba-lomba untuk kebaikan. Jika semua anak nagari tanpa pengecualian suku-suku tertentu diberi kesempatan untuk ini, maka mimpi mendapatkan pemimpin yang berkualitas bisa kita raih, mengapa? Diera yang penuh keterbukaan ini semua anak nagari yang memenuhi syarat akan berpacu meningkatkan kualitas, kapasitas diri untuk menjadi yang terbaik merebut hati masyaraka nagari.
Penting untuk dipahami bahwa pemilihan wali nagari dengan pemilihan pemimpin adat secara Substansi adalah 2 Dua hal yang berbeda. Pemilihan walinagari memilih pemimpin ditingkat pemerintahan Nagari, bukan memilih pemimpin adat.
Tawaran Solusi
Adat salingka nagari. Fenomena ini jika tidak diperbaiki maka akan dapat merusak tatanan dan esensi demokrasi. Memintas sebelum jauh hanyut, maka menurut penulis, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dilakukan
Pertama, Lembaga kerapatan Adat Nagari (KAN) perlu melakukan konsolidasi, memberikan pencerahan kepada semua anak kemenakan tentang esensi dari demokrasi. Minimal menyampaikan pemahaman bahwa pemilihan wali nagari adalah hal yang berbeda dari pemilihan pemimpin adat.
Dalam kontestasi politik nagari biasanya intervensi dari pemimpin adat atau orang yang berpengaruh disuku sangat kuat. Tidak jarang kita mendengar nada ancaman, sanksi sosial oleh mereka yang berkuasa disuku tersebut.
Jika tidak menuruti perintah untuk memilih suatu calon wali nagari sesuai perintah dari pemimpin suku atau orang yang berpengaruh disuku itu, maka keluarga atau anak kemenakan yang tidak patuh akan dikucilkan.
Sanksi sosial lainnya, seperti pimpinan suku atau mereka yang berpengaruh disuku tersebut tidak akan datang di alek baik dan alek Buruak. Balangau. Inilah yang ditakutkan anak kemenakan yang menyebabkan mereka tidak lagi merdeka dalam berpikir.
Jika ini terjadi maka disinilah sesungguhnya letak peran Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai tempat perlindungan anak kemenakan atau anak nagari. Jika KAN bisa memberikan rasa aman dan nyaman kepada semua anak nagari yang merdeka dalam memilih pemimpin nagari maka bisa terwujud kualitas demokrasi yang baik di tingkat nagari.
Kedua, Peran para cerdik pandai, kaum terdidik dan terpelajar memberikan edukasi tentang esensi demokrasi kepada masyarakat nagari. Tidak mesti harus formal menyampaikan ini, bisa dilakukan dari lapau ke lapau atau tempat keramaian lainnya.
Hal ini terus disuarakan. Optimisme dan Nasionalisme bernagari terus digaungkan. Perubahan harus dihadirkan melalui pikiran pikiran yang jernih dan lapang. Edukasi politik menjadi penting dalam rangka mengubah Maindset dalam memahami esensi Demokrasi itu sendiri dari cara berpikir tradisonal menjadi rasional.
Dalam konteks ini, saya pikir kita mesti belajar kepada founding father kita dalam merebut kemerdekaan. Terbukti perjuangan sukuisme, primordial tidak efektif dalam melawan Imperealisme. Kalaulah para leluhur kita dulu bertahan dengan perjuangan kedaerahan, sukuisme, kerajaan-kerajaan maka tidak akan merdeka Indonesia ini. Yang ada hanyalah politik pecah belah belanda. Belajar dari itu para pemikir dan pejuang kita mengubah cara pergerakannya dengan membangun Nasionalisme.
Menurut saya hari ini Nasionalisme di tingkat nagari mesti dihadirkan. Fenomena Dominasi Sukuisme ini menarik untuk dicermati tapi tidak menarik untuk diteruskan agar kualitas demokrasi kita tetap terjaga. Selamat berbenah.