INFO|Payakumbuh, -Seorang nasabah lembaga pembiayaan leasing ACC di Payakumbuh membeli mobil baru merk Kijang Innova tahun 2019 dengan sistem cicilan ke Leasing ACC dengan masa kredit atau tenor selama 48 bulan.
Nasabah berinisial R telah melakukan kredit/mencicil sebanyak 31 kali angsuran namun baru menunggak 2 bulan saja mobil tersebut sudah langsung dirampas oleh pihak ACC dan anehnya harus membayar lunas mobil itu, baru bisa nasabah mendapatkan mobilnya kembali.
Pihal leasing ACC kata R juga tidak pernah memberikan surat kontrak perjanjian kredit kepada kreditur.
“Kita baru macet 2 bulan, angsuran per bulan Rp9 jutaan, parah sekali, kontrak perjanjian kredit saja kami tak pernah diberikan, baru kemaren saya minta diberikan,” ujarnya R di Payakumbuh, Jumat (17/6/22).
Tak hanya itu, sejumlah kejanggalan lainnya juga terungkap, R menceritakan kejanggalan pertama harus membayar 50 bulan, denda tertulis 12 juta namun ketika dihitung manual tidak sampai 8 juta.
“Kejam sekali, pas saudara saya yang bawa mobil itu tiba-tiba distop dan diambil mobilnya. Kami pun sudah tawarkan siap untuk bayar kredit 3 bulan deposit 2 bulan, jadi 5 bulan, yang 3 bulan tunggakan, ditambah biaya tarikan Rp19 juta siap kita dibayar, namun mereka tetap memaksa kami untuk bayar lunas,” jelasnya.
Selanjutnya ia menjelaskan kejanggalan lainnya yakni sisa angsuran 17 sebesar Rp153 juta namun pihak keasing mengatakan harus 19 lagi pembayaran dengan meminta pelunasan sebanyak Rp171 juta tambah denda Rp12 juta dan uang tarikan Rp19 juta dengan total Rp198.500.000.
“Sejumlah itu yang harus dibayar tidak bisa nego,” ujarnya.
R menceritakan mobilnya diduga dirampas sekitar 8-9 orang di jalan Soebrantas Panam di Pekanbaru, dimana waktu itu yang membawa mobil adik dari pemilik mobil.
Sementara itu pihak leasing ACC di Bukittinggi yang beralamat di Jln Jambu Air setelah didatangi wartawan suarapribumi.co.id ke kantornya untuk dikonfirmasi, mereka tampak enggan untuk menemui wartawan dan tidak memberikan keterangan apapun.
Atas peristiwa itu R akan melaporkan pihak ACC ke kepolisian atas dugaan perampasan mobil dan menggugat secara perdata ke pengadilan karena banyaknya kejanggalan-kejanggalan seperti yang dijelaskan diatas.
Menanggapi hal tersebut, Praktisi Hukum seorang advokat, Hafis Alfarisyi, S.H menegaskan melihat dari fakta tersebut diatas itu termasuk Perbuatan melawan hukum.
Paris menjelaskan pada tahun 2019 keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dengan harapan terjadi keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia pada umumnya dan khususnya penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah, dengan amar putusan sebagai berikut:
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
“Untuk melakukan penarikan atau eksekusi pihak Kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga Pengadilan Negeri dimana ditanda tangani kesepakatan perjanjian kredit fiducia atau setidak tidaknya melakukan upaya gugatan melalui pengadilan untuk menyatakan debitur telah cedera janji,” jelas Paris.
Lanjut Paris, apabila kreditur melakukan upaya eksekusi sepihak dengan cara paksa maka perbuatan kreditur adalah perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada debiturnya dimana kreditur dapat digugat ke pengadilan untuk mengganti kerugian debiturnya karena mengenai parate eksekusi sudah ada regulasi nya dan ada mekanisme yang mengatur mengenai tata cara melakukan eksekusi terhadab debitur, yaitu tetap melalaui pengadilan negeri dimana dibuat kesepakatan dan dimana didaftarkan fiducia terhadap jaminan kredit.
Penulis : Ady
Editor : Heri Suprianto