Mengulas Karya Rozi Mandaliko “114 Purnama di Hotel Prodeo” di Rimba Bulan

INFO|Padang Panjang – Gadis berkerudung ini mengomentari alur novel  yang menurutnya “berantakan”. Kendati begitu, dirinya memuji tema yang diangkat. 


Dia menyebut tidak mainstream lantaran berlatar di balik jeruji besi. Nama tokoh di dalam bacaan itu pun unik dan kupasan pertama itu datang dari Duta Baca Sumatera Barat, Mardhiyan Novita MZ.


“Tidak hanya nama tokoh, tetapi penokohan dan karakternya serta gaya bahasanya yang indah,” ujar Dian ketika menjadi pemantik diskusi novel berjudul “114 Purnama di Hotel Prodeo” karya Rozi Mandaliko Prodeo, Ahad (13/2), di Ruang Baca Rimba Bulan, dengan moderator Muhammad Subhan.


Sementara itu, Tek Nun, guru sekaligus penggiat literasi, sedikit khawatir dengan sejumlah gaya bahasa yang ditulis vulgar. Selaku seorang guru dia belum berani mengenalkan karya itu kepada murid-muridnya.


“Penulis sangat berani mengungkapkan hal seperti itu. Namun cerita penjara yang di dalam pikiran kita menakutkan, ternyata tidak. Kita bisa dibuat ketawa dan terhibur dengan gaya bahasanya. Analoginya sangat kaya. Setiap halaman saya menemukan kata-kata baru. Istilah baru yang selama ini belum pernah kita dengar,” ungkapnya.


Keunikan novel karya Rozi Mandaliko juga dirasakan pengamat sastra, Pengawas Sekolah Berprestasi 2019, Mulyadi Wijaya. Dikatakannya, hal itu timbul dari karakter pengarang novel itu sendiri yang memang nyentrik dari masa kuliah. 


“Penulis menyikapi kehidupan seperti itu ternyata. Bahwa segala sesuatu bisa kita buat happy atau segala sesuatu bisa kita jadikan candaan. Walapun di tempat yang tidak tepat seperti di dalam penjara. Saya yakin tokoh Kurapay itu ialah dia sendiri,” ujarnya.


Novel ini memang berangkat dari kisah penulis yang pernah mendekam di penjara karena sebuah kasus. Selama tiga tahun masa percobaan di luar penjara lahirlah novel ini. Saat ini penulis telah bebas murni.


Penulis sebenarnya adalah seorang pelukis.  Mulyadi menilai cara Rozi membuat karya novel seperti melukis. “Bagaimana karya itu muncul dan orang menikmatinya. Tapi bagi saya, anak SMA saya rekomendasikan membacanya. Karena mereka kan sudah baliqh dan berakal sehat. Silahkan, jadi jika kita salah langkah pasti masuk penjara,” katanya.


Diskusi makin menarik ketika dosen sekaligus penulis, Sulaiman Juned turut berkomentar. Sulaiman  tidak setuju jika novel dengan berlatar belakang penjara disebut langka lantaran banyak novel bertemakan demikian.  “Dari tahun 19 sekian itu, banyak trilogi tentang novel tentang puisi, cerpen yang berbicara tentang penjara,” jelasnya.


Adapun Rozi yang terlihat seperti disidang hari itu, justru merasa senang, bahagia dan haru. “Lebih hebat rasanya hari ini, dibandingkan hakim yang memvonis saya sembilan tahun. Lebih hebat hari ini. Apa yang saya dambakan dan saya impikan bertemu hari ini,” sebutnya yang disambut aplause  oleh audiens.


Muhammad Subhan mengatakan, kegiatan sekali dalam satu bulan, di Ruang  Baca Rimba Bulan milik Alvin Nur Akbar tersebut, dilaksanakan secara rutin. “Acara ini dalam bentuk apresiasi. Memberikan motivasi dan semangat kepada penulis agar lebih bagus menulis. Bagi yang belum bersentuhan dengan karya sastra bisa lebih bersemangat untuk ikut,” tuturnya.


Tampak hadir anak dari penulis nasional AA Navis yaitu Dedi Navis yang juga mengapresiasi kegiatan di TBM tersebut bersama para penulis dan pengamat sastra lainnya. (Indah/kmf)




Editor : Heri Suprianto

Leave a Comment