Penyekatan PPKM Darurat Level IV.(ist) |
INFONUSANTARA.NET — Kondisi pandemi covid-19 yang terus terjadi di Indonesia selama dua tahun belakangan, terus membuat pemerintah berjuang menanggulanginya. Cilakanya Indonesia dinilai alami 7 kegagalan hadapi covid-19, bahkan disebut sebagai epicentrum baru pandemi virus corona baru (Covid-19 di dunia).
Kondisi inilah yang kemudian bisa ditelaah lebih dalam untuk diambil pembelajaran atas penyebab Indonesia sampai disebut epicentrum baru oleh banyak negara dunia. Hal tersebut justru menjadi analisa Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini yang mengurai sedikitnya ada 7 faktor kegagalan kebijakan Indonesia dalam pengendalian covid-19.
Kebijakan yang dijalankan selama dua tahun bahkan baru-baru ini melalui PPKM dinilai memengaruhi banyak kondisi yang justru berimbas pada kondisi masyarakatnya. Bahkan kondisi tersebut di perparah dengan berbagai situasi sulit khususnya yang berkaitan dengan medis.
Berikut 7 Kegagalan Indonesia hadapi pandemi Covid-19
Pertama, pemerintah memulai dengan respons lengah, eskapis, denial. Dimana menurut, Prof. Didik menganalisa, adanya komunikasi antar pemerintah dengan masyarakat terkait kebijakan penanganan pandemi dinilai buruk. Setiap informasi yang disampaikan tidak jelas dan membuat kebingungan masyarakat.
“Ketika di awal pandemi, ada puluhan komunikasi pejabat publik membingungkan, seperti Covid-19 tidak berkembang di tropis, Covid-19 pakai nasi kucing, susu kuda liar dll,” kata Didik dalam diskusi daring Paramadina Publik Policy Institute (PPPI) bertajuk “Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia” pada Selasa (27/7).
Sehingga, sambungnya, Indonesia kehilangan golden time (waktu emas). Padahal jika ditangani dengan tepat akan meminimalisir dampak buruk pada hari ini.
Kedua, buruknya aspek organisasi penangan pandemi bisa terlihat dari koordinasi yang dilakukan antar lintas kementerian yang mewakili pemerintah. Prof Didik melihat, organisai penanganan terlalu gemuk dan dikerjakan secara partime sebagai kerja sambilan dari kerja utama di kementerian.
Pola organisasi semacam itu, kata Didik adalah cermin dari produk kepemimpinan yang lemah dan tidak kredibel.
“Padahal kepemipinan di masa krisis amat berbeda ketika di masa normal. Kepemimpinan di Indonesia jelas sedang diuji,” tuturnya dikutip Hops.id dari kantor berita politik Rmol Selasa 27 Juli 2021.
Ketiga kata Prof Didik, kepemimpinan di semua level bermasalah. Ia melihat komando tidak satu arah tapi banyak arah dan membingungkan.
Apalagi, pimpinan lembaga untuk pengendalikan Covid-19 berganti-ganti.
“Bahkan sejak awal juga bahkan ada friksi pusat dan daerah,” sesalnya.
Kempat, kebijakan ekonomi lebih menjadi pilihan utama di masa pandemi. Imbasnya, porsi anggaran kesehatan di APBN justru sedikit dan terabaikan.
“Kelima, komitmen kepada mitra, tenaga kesehatan dan rumah sakit sebagai mitra dan stakeholder, amat lemah. Nakes dan rumah sakit banyak yang belum dibayar. Nakes banyak terpapar obat-obatan hilang dari pasaran,” ucap Didik.
Keenam, masih kata Prof Didik, anggaran untuk penanggulangan ekonomi nasional (PEN) ekonomi mayoritas non kesehatan dan jauh dari memadai untuk kesehatan.
Kata Prof Didik, Dana PEN Rp 690 triliun kebanyakan untuk membenahi ekonomi. Maka tidak heran jika muncul masalah Nakes tidak dibayar, oksigen bermasalah, rumah sakit belum dilunasi dan lain-lain.
“Terjadi penggelembungan dana dengan utang yang sebagiannya merupakan produk perburuan rente,” tandasnya.
Ketujuh, data resmi terlalu berbeda dan tidak mencerminkan data sesungguhnya di lapangan. Masalahnya, pemerintah hanya mengambil data resmi yang justru tidak sesuai data lapangan.
Kata pria yang juga Ekonom senior Indef ini, seharusnya data resmi sebagai proxi saja.
Prof Didik kemudian mengungkap data hasil riset Jayadi Hanan dosen Universitas Paramadina yang menyebutkan 10 persen keluarga sampel di Indonesia telah terpapar Covid-19.
“Hal itu berarti yang terkena bisa 10-15 juta orang. Begitu pula laporan daerah kurang cepat, kurang komprehensif,” katanya.
Source: hops.id