Direktur Imparsial Al Araf meminta agar TNI tidak dilibatkan dalam penanganan terorisme lewat perpres (CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
INFONUSANTARA.NET — Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk menunda pembahasan draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme.
Koalisi menilai pemerintah perlu mengakomodasi berbagai masukan dari kalangan masyarakat sipil, sebab draf Perpres masih mengandung sejumlah pasal bermasalah yang dapat mengancam kebebasan sipil, mengganggu kehidupan demokrasi, merusak sistem peradilan pidana dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih antarlembaga di kemudian hari.
“Kami mendesak pemerintah untuk menunda pembahasan draf Perpres tersebut,” ujar Direktur Imparsial Al Araf dalam keterangan resminya, Jumat (18/12) sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.
Koalisi, lanjut Al, menilai pemerintah telah mengabaikan tuntutan publik dan masukan dari DPR RI agar pembahasan rancangan perpres tersebut dilakukan secara terbuka.
Apalagi, kata dia, draf rancangan yang ada banyak dikritik dan ditolak karena berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia lantaran akan mengubah model penanganan terorisme dari model sistem kontrol kejahatan melalui penegakan hukum menjadi model perang.
Berdasarkan catatan koalisi, terdapat sejumlah permasalahan yang termuat dalam draf Perpres tersebut.
Pertama, beberapa pasal masih bertentangan dengan Undang-undang yang ada di atasnya, seperti terkait dengan pengaturan pengerahan kekuatan TNI. Dalam draf Perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan cukup hanya atas dasar perintah presiden saja tanpa ada pertimbangan DPR.
“Perpres ini menghilangkan mekanisme check and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI,” terang Al Araf.
Kedua, koalisi mengkritik penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme. Menurut koalisi, penggunaan anggaran di luar APBN tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat.
“Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing,” ucap Al.
Ketiga, rancangan perpres tersebut memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI untuk ikut terlibat dalam penanganan terorisme tanpa diikuti pengaturan tentang mekanisme akuntabilitas yang jelas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum.
Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, tutur Al, maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer.
Keempat, fungsi penangkalan di dalam draf Perpres tersebut juga sangat luas yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya.
Koalisi menyoroti tidak adanya penjelasan lebih rinci terkait dengan frasa “operasi lainnya”. Dengan pasal yang multitafsir tersebut, menurut koalisi, maka TNI mempunyai keleluasaan untuk melakukan penanganan terorisme di dalam negeri secara luas yang berpotensi tumpang tindih dengan lembaga lain.
“Dengan kewenangan yang luas dalam mengatasi aksi terorisme, maka akan membuka ruang tumpang tindih fungsi dan kerja antara TNI dengan institusi keamanan lainnya yakni dengan Polri, BIN dan BNPT itu sendiri,” pungkas Al.
Koalisi Masyarakat Sipil ini di antaranya terdiri dari Imparsial, Elsam, PBHI, KontraS, YLBHI, Setara Institute, HRWG, hingga LBH Jakarta.