Demo berakhir ricuh terjadi di Prancis. (Foto: AP/Francois Mori) |
INFONUSANTARA.NET — Puluhan ribu masyarakat menggelar aksi demonstrasi di seluruh Prancis, Sabtu (28/11), pasca pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan yang bakal membatasi pengambilan gambar petugas polisi. Di sejumlah lokasi demo berakhir ricuh antara pedemo dan polisi.
Jika RUU tersebut disahkan, setiap orang yang mempublikasikan foto atau video petugas polisi yang sedang bertugas dengan maksud merusak integritas fisik atau psikologis aparat bisa dijerat hukum hingga satu tahun penjara dan denda 45 ribu euro.
Hal ini memunculkan kekhawatiran di kalangan kelompok kebebasan sipil, jurnalis dan korban pelecehan oleh aparat kepolisian. Mereka menilai beleid tersebut bakal menghalangi kebebasan pers dan memungkinkan kekebalan hukum terhadap aparat.
Dalam unjuk rasa, demonstran menuntut balik tanggung jawab aparat kepolisian yang berulang kali menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang gaduh dalam aksi protes beberapa tahun belakangan.
Demonstran yang terdiri dari jurnalis, mahasiswa, aktivis sayap kiri, kelompok pembela hak migran dan warga lainnya itu menilai sikap polisi dalam menindak demonstrasi mengeras beberapa tahun terakhir. Khususnya sejak gerakan protes rompi kuning muncul 2018 lalu.
Kerusuhan pada demonstrasi yang dipicu oleh kesulitan ekonomi itu awalnya dimulai saat pengunjuk rasa melempari polisi dengan batu. Langkah ini dibalas polisi dengan tembakan gas air mata.
Buntut terjadi bentrokan antara aparat dan pengunjuk rasa. Insiden ini berujung pada pembakaran bagian depan bank sentral Prancis dan barikade polisi oleh pengunjuk rasa.
“Kami harus memperluas debat. Dan dengan melakukan itu, kami mengatakan bahwa jika tidak ada kekerasan polisi, kami tidak perlu merekam polisi yang melakukan kekerasan,” kata Assa Traore, aktivis anti brutalitas kepada Associated Press.
Setidaknya ada 46 ribu pengunjuk rasa yang turut memadati alun-alun Republique di Paris bersama Traore. Para demonstran juga menyerukan pengunduran diri Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin.
Kepala Kepolisian Paris Didie Lallement menginstruksikan jajarannya agar mengawasi aksi protes dengan kejujuran, rasa hormat dan etika. Aksi sendiri terpantau berjalan damai.
Pemerintah Macron berdalih UU Keamanan dibutuhkan untuk melindungi aparat kepolisian di tengah ancaman dan serangan kekerasan. Sedangkan pemimpin redaksi surat kabar Prancis Le Mondo, Luc Bronner berpendapat lain.
“Sudah ada hukum yang ada untuk melindungi pegawai negeri, termasuk pasukan polisi ketika mereka menjadi sasaran. Dan itu sah, polisi melakukan tugas yang penting,” katanya.
“Tapi bukan itu masalahnya. Ini tentang membatasi kapasitas warga dan bersama mereka, jurnalis, untuk mendokumentasikan kekerasan polisi ketika itu terjadi,” lanjut Bronner.
Perdana Menteri Prancis Jean Castex telah menunjuk komisi untuk menyusun kembali Pasal 24 pada UU tersebut. Namun menanggapi penolakan dari parlemen, komisi itu akan membahas kembali draf yang baru pada awal tahun depan bersama media dan polisi.
Unjuk rasa nasional sendiri mulanya didorong oleh rekaman video yang menunjukkan petugas polisi tengah memukuli seseorang pria kulit hitam yang tersebar beberapa hari terakhir.
Macron menyatakan tindakan yang terekam dalam video tersebut telah mempermalukan negara. Tak lama kemudian muncul lagi rekaman video lain yang menunjukkan sejumlah aparat memukuli prosedur musik Michel Zecler.
Sumber:CNN Indonesia