Desak UU Ciptaker Dicabut, KSPI Sorot Aturan Merugikan Buruh

 

Presiden KSPI Said Iqbal (CNN Indonesia)

INFONUSANTARA.NETKonfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama kalangan buruh lainnya mendesak Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja dibatalkan atau dicabut.Pada Senin (2/11), undang-undang tersebut resmi berlaku usai diteken Presiden Joko Widodo.

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/11).

Iqbal mengatakan KSPI telah melakukan kajian dan analisa secara cepat setelah menerima salinan UU tersebut. Dari hasil kajian, KSPI menemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh.

Berikut beberapa aturan kontroversial dalam UU Cipta Kerja yang disorot KSPI

Rezim Upah Murah

Beberapa pasal tersebut di antaranya mengenai berlakunya kembali sistem upah murah. Hal tersebut terlihat dari sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyatakan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebut gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Menurut Iqbal, penggunaan frasa ‘dapat’ dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Pasalnya, penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK.

“Hal ini akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” jelas Iqbal.

Berlakunya UU Cipta Kerja ini, menurutnya mengembalikan rezim upah murah. Terlebih upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP) dihilangkan, karena UU Cipta Kerja menghapus Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003.

Menurutnya, dihilangkannya UMSK dan UMSP menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan.

“Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah,” ujarnya.

Kontrak Seumur Hidup

KSPI juga menemukan bahwa UU Cipta Kerja menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak tenaga kerja tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.

Menurut Said ketentuan itu membuat karyawan kontrak bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Hal ini berarti tidak ada kepastian bekerja.

Padahal, kata dia, dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, karyawan kontrak dibatasi maksimal 5 tahun dan minimal 3 tahun. Setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak dapat diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen.

“Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut,” ujar Iqbal.

Outsourcing

Said Iqbal juga menyatakan jika UU Cipta Kerja turut menghapus Pasal 64 dan 65 UU 13/2003. Selain itu juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66, yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, katering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.

Dihapuskannya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.

Menurut dia, hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjualbelikan oleh agen penyalur.

“Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern),” tuturnya.

Menurut Iqbal, dengan sistem kerja outsourcing, buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya.

Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan, sesuai aturan dalam UU 13/2003.

Pesangon Dikurangi

Dari hasil kajian KSPI, UU Cipta Kerja juga dinilai mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah. Iqbal merinci, pembayaran itu 19 upah dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut dia, hal tersebut merugikan buruh, lantaran nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23 persen, sedangkan buruh Indonesia hanya 8,7 persen.  

“Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik. Oleh karena itu, KSPI meminta nilai pesangon dikembalikan sesuai isi UU 13/2003,” papar Iqbal.

Presiden RI Joko Widodo resmi meneken Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, Senin (2/11). UU Cipta Kerja diberi nomor menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 dengan jumlah halaman 1.187 atau lebih banyak dibandingkan yang diserahkan DPR untuk diteken, yakni 812 halaman. 

Sumber: CNN Indonesia

Leave a Comment