Ilustrasi (istimewa) |
Infonusantara.net — Sejumlah tokoh Islam, Kristen, hingga aliran kepercayaan bersatu menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR dan pemerintah pada Senin (5/10). Mereka bersepakat bahwa produk legislasi itu mengancam kelompok minoritas agama dan merampas ruang hidup rakyat kecil.
Tokoh dan aktivis keagamaan yang tergabung menolak UU Cipta Kerja ini antara lain Busryo Muqodas, Pendeta Merry Koliman, Ulil Abshar Abdalla, Engkus Rusana, Roy Murtadho dan Pendeta Penrad Sagian.
Koordinator Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Roy Murtadho menyatakan beberapa poin dalam omnibus law cipta kerja dapat mengerdilkan minoritas agama atau aliran kepercayaan dan masyarakat adat.
Roy menyoroti satu poin dalam UU Ciptaker Paragraf 16 tentang Pertahanan dan Keamanan Pasal 15 Ayat (1) huruf D. Beleid pasal itu memberi wewenang Polri mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
“Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,” demikian bunyi poin dalam draft UU Omnibus Law yang baru, sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Dalam bagian penjelasan, yang dimaksud dengan ‘aliran’ adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Salah satunya aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
Yang dikhawatirkan, tidak ada penjelasan secara gamblang terkait maksud poin itu. Roy bilang paparan yang tidak spesifik itu yang Roy bisa saja dijadikan acuan dalam segala hal oleh negara.
Menurut Roy pasal itu kian mengancam keberadaan masyarakat adat dengan aliran kepercayaan masing-masing sudah sebelumnya pun telah rentan terhadap ancaman.
Dilansir dari CNN Indonesia.”Saya kira mengapa ini menjadi penting ini karena dapat mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan terutama bagi masyarakat adat. Seringkali keberadaan masyarakat adat dianggap minor padahal mereka orang-orang yang ada di Indonesia sejak awal,” kata Roy dalam diskusi daring yang disiarkan melalui kanal YouTube Fraksi Rakyat ID, Selasa (6/10).
Roy juga mengaitkan pasal itu dengan aturan soal diskriminasi terhadap aliran kepercayaan atau kebatinan yang telah ditegaskan melanggar konstitusi melalui Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016.
Selain mengancam aliran kepercayaan Omnibus Law Cipta Kerja juga berpotensi menciptakan konflik agraria dan kerusakan lingkungan hidup. Padahal, kata dia, sebelum ada undang-undang ini pun telah banyak terjadi konflik agraria.
Roy menyebut dalam kurun 5 tahun terakhir sedikitnya ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
Ia pun mengutip perubahan UU P3H yakni Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja. Dia bilang bahwa pasal itu memuat ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Mery Kolimon menyebut UU Ciptaker ini sudah memangkas hak-hak buruh atau pekerja.
UU Cipta Kerja, menurut Mery, membuat pekerja rawan mendapat upah murah lewat legalisasi penghitungan upah per jam. Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
“Sebagai aktivis perempuan kami juga melihat RUU yang sekarang menjadi UU ini akan makin memperkuat kerentanan pekerja perempuan,” kata Mery.
Selain menggelar diskusi secara daring, para tokoh dan aktivis agama itu juga menginisiasi petisi bertajuk Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik di laman change.org pada 5 Oktober lalu.
Pantauan CNNIndonesia.com hingga pukul 14.54 WIB, petisi itu telah mendapat dukungan 860.109 netizen dan jumlahnya terus bertambah. Dalam petisi itu mereka meminta DPR membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis.