Demo Penolakan Omnibus Law UI Ciptakerja (ist) |
Infonusantara.net – Setelah kerusuhan massal di berbagai daerah di Indonesia yang terjadi sepanjang Kamis (8/10/2020), Polri menangkap 3.862 orang. Mereka yang diamankan itu tersebar di sejumlah daerah. Penangkapan itu buntut aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) sejak Selasa 6 Oktober 2020 lalu. Ada yang menyebut, aksi buruh itu ditunggangi. Jika benar, siapa?
Dilansir dari m.harianmerahputih.id ,Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan pendemo yang diamankan totalnya sebanyak 3.862 orang. Polisi telah mengidentifikasi ribuan orang tersebut. Sebanyak 796 orang yang ditangkap merupakan anggota kelompok anarko. Mereka ditangkap jajaran dari Polda Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Polda Metro Jaya, Sumatra Utara, dan Kalimantan Barat.
“Masyarakat umum sebanyak 601 tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Polda Metro Jaya,” ujar Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (9/10/10).
Jenderal bintang dua itu melanjutkan polisi juga menangkap 1.548 pelajar dari aksi demo tersebut. Penangkapan dilakukan Polda Sulawesi Selatan, Polda Metro Jaya, Sumatra Utara, dan Kalimantan Tengah.
Mahasiswa yang ditangkap sebanyak 443 orang. Mereka diangkut oleh jajaran dari Polda Sulawesi Selatan, Polda Metro Jaya, Sulawesi Tenggara, Sumatra Utara, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah.
Sebanyak 419 buruh juga ditangkap jajaran Polda Metro Jaya dan Sumatra Utara. Terakhir, ada 55 pengangguran yang ditangkap oleh jajaran Polda Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Utara.
Argo mengatakan aksi menolak UU Ciptaker menyasar kantor DPRD di masing-masing wilayah. Aparat melakukan pengamanan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Bakan, kata dia, tak ada anggota polisi yang dilengkapi senjata api.
“Kedua, di dalam kegiatan tersebut polisi melakukan nego-nego dalam berunjuk rasa supaya kegiatan aspirasinya disampaikan,” ujar mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya dan Polda Jatim ini.
Argo mengakui polisi melarang pedemo memasuki area tertentu. Sejumlah personel dari pengendalian massa (dalmas), Sabhara, dan Brimob diterjunkan untuk mengamankan aksi demo. Namun, bentrokan antara aparat dan pedemo tak terelakkan.
“Ada beberapa fasilitas juga yang jadi korban, tidak hanya anggota saja. Anggota (polisi) walaupun dilempari tetap diam saja. Tetap bertahan, persuasif. Ada beberapa anggota yang luka karena dilempar. Tetap kami imbau, ternyata semakin anarkistis,” tutur dia.
Polemik UU Ciptaker
Kericuhan massa yang merebak itu merupakan puncak aksi dari rangkaian reaksi keras terhadap persetujuan DPR RI terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Lapangan Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2020.
Sebelum RUU ini diselesaikan DPR RI, aksi-aksi penolakan sudah sering terjadi saat pembahasan di DPR RI. Aksinya juga tidak hanya di DKI Jakarta tetapi juga di sejumlah daerah. Umumnya, massa terdiri atas buruh, mahasiswa dan pelajar. Tak sedikit juga masyarakat.
Sepanjang pembahasan RUU tersebut di ruang-ruang rapat di DPR, di luar sana aksi penolakan juga terus berlangsung. Kedua pihak saling berseberangan, bahkan hingga RUU itu tuntas pembahasan.
Di dalam gedung parlemen membahas RUU ini, tetapi di luar gedung, gerakan ekstraparlementer juga terus terjadi. Dialog para penolak dengan parlemen tampaknya tidak terlalu banyak menghasilkan titik temu hingga akhir RUU tetap disetujui. Aksi-aksi ekstraparlementer massa pun berlanjut dan meluas cakupan wilayah dan eskalasinya.
Puncaknya adalah pada Kamis. Aksi anarki terjadi secara luas yang berakibat perusakan fasilitas umum dan tempat usaha.
Kawasan Bisnis dan fasilitas publik
Sejumlah fasilitas umum dirusak massa. Dari pos polisi, pagar dan pintu tol hingga pemblokiran akses lalulintas.
Aksi penolakan yang berujung anarki kali ini tidak di Gedung Parlemen dan sekitar Senayan. Aksi kali ini menyentuh kawasan ekonomi dan bisnis, seperti Senen dan Bundaran HI, Kawasan Sudirman-Thamrin, Harmoni, Gadjah Mada dan lainnya.
Massa yang dihalau aparat keamanan melampiaskan pembalasan dengan lemparan batu dan merusak pot tanaman. Aparat pun membubarkan massa dengan gas air mata.
Tak sedikit fasilitas umum dirusak massa. Sebanyak 25 halte TransJakarta dijarah, dirusak dan dibakar massa. Total kerugian mencapai Rp60 miliar.
Halte-halte bus dengan operator BUMD DKI Jakarta itu selama ini dinilai lengkap dan nyaman. Dari pendingin ruangan hingga beragam perangkat elektronik dan digital ada di setiap halte.
PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) pun kemudian menghentikan operasional layanan di seluruh koridor pada Kamis sore. MRT Jakarta juga terdampak kericuhan massa yang bergerak dari Patung Kuda Arjuna Wiwaha di Kawasan Monas (Jakarta Pusat).
Dua mini ekskavator untuk proyek fase 2A dibakar massa pada Kamis (8/10). Massa juga sempat memadati stasiun bawah tanah tetapi bisa dihalau.
Atas kerusakan, pembakaran dan penjarahan sejumlah fasilitas umum itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan langsung memutuskan kucuran Rp25 miliar untuk perbaikan. Tujuannya bukan saja agar fasilitas umum dapat segera berfungsi tetapi juga untuk memberi kenyamanan dan keamanan warga.
Di Surabaya juga tak jauh beda. Sejumlah fasilitas publik rusak. Mulai pagar Gedung Negara Grahadi, Alun-alun Suroboyo di kompleks Balai Pemuda Surabaya, Pos Polisi di depan Tunjungan Plaza. Belum lagi fasilitas lain seperti taman kota dan mobil dinas yang dirusak massa.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur meminta Polda Jatim mencari dan mengusut tuntas dalang di balik perusakan saat unjuk rasa menolak pengesahan RUU Cipta Kerja di Surabaya pada Kamis (8/10). “Kami percayakan ke aparat selaku penegak hukum. Usut dalang atau provokator dibalik aksi anarkis massa di sela unjuk rasa,” ujar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Jumat (9/10/20).
Diproses
Pemerintah pun menyayangkan adanya aksi-aksi anarkis yang dilakukan oleh massa penolak UU Cipta Kerja dengan merusak fasilitas umum dan melukai petugas serta menjarah. Tindakan itu jelas merupakan kriminal dan tidak dapat ditolerir dan harus dihentikan.
Pemerintah menyatakan kericuhan yang terjadi bersamaan di berbagai daerah diusut tuntas. Bukan saja, pelaku yang ditangkap saat aksi, tetapi juga orang yang menjadi aktor di balik kericuhan itu. “Pemerintah akan bersikap tegas dan melakukan proses hukum terhadap semua pelaku dan aktor yang menunggangi atas aksi-aksi anarkis yang sudah berbentuk tindakan kriminal,” tegas Mahfud saat konferensi pers secara virtual di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis malam.
Sebelum melakukan konferensi pers, Mahfud menggelar rapat bersama Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan Mendagri Tito Karnavian.
Pemerintah menghormati kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi sepanjang dilakukan dengan damai, menghormati hak-hak warga yang lain, dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Selain berdemonstrasi dengan tertib dan tidak melanggar hukum, kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini, ketidakpuasan atas UU Cipta Kerja bisa ditempuh dengan cara sesuai konstitusi. Yaitu dengan menyalurkan lewat peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan menteri (permen) serta peraturan kepala daerah (perkada) sebagai turunan UU. Bahkan bisa diadukan melalui mekanisme judicial review atau uji materi ke MK.
Kelompok Anarkho
Terkait kericuhan itu, Polda Metro Jaya telah menangkap sekitar seribu orang yang diduga terlibat dalam bentrokan dengan petugas Kepolisian dan perusakan sejumlah fasilitas umum di Jakarta.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Polisi Yusri Yunus mengatakan orang-orang yang diamankan tersebut merupakan kelompok Anarko yang mencoba memancing keributan. “Itu adalah Anarko-anarko, perusuh itu,” kata Yusri.
Pelaku perusakan terhadap sejumlah fasilitas umum dan fasilitas Kepolisian bukan buruh yang melakukan unjuk rasa. Mereka adalah perusuh yang menunggangi unjuk rasa buruh menentang Omnibus Law Cipta Kerja.
Pihak Kepolisian juga mulai menyelidiki aksi perusakan sejumlah fasilitas umum di Ibu Kota dengan mencari para pelakunya. Salah satu yang diperiksa polisi adalah video-video perusakan yang beredar di media sosial.
Selain kerusakan fasilitas umum, ada beberapa personel Kepolisian yang menjadi korban aksi massa. Ada enam polisi yang menjadi korban luka-luka.
Penyelidikan dan penyidikan atas kericuhan ini akan membuktikan adakah aktornya, termasuk menelisik lebih lengkap peran Anarko. Juga memperjelas apakah Anarko yang dimaksud adalah kelompok yang ciri-cirinya diungkap Kepolisian pada Mei 2019?