Kalangan buruh menyebut investasi tak selalu berarti lapangan kerja. (Foto: CNN Indonesia/ Farid) |
Infonusantara.net — Elemen buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menilai kesepakatan soal Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR menghamba kaum modal dan tak peka masyarakat kecil.
Pasalnya, peningkatan investasi tak selalu berkorelasi dengan penciptaan lapangan kerja.
“Alasan Pemerintah atas pembuatan Omnibus Law untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja jelas keliru besar. Sebab pendewaan pada investasi tidak serta merta mendorong penciptaan lapangan kerja,” kata Juru bicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benny Wijaya dilansir dari
CNNIndonesia.com, Senin (5/10).
Sebelumnya, Pemerintah dan DPR secara resmi menyetujui untuk membawa RUU Cipta Kerja untuk disahkan dalam rapat paripurna DPR setelah menyepakati semua subtansi dalam rapat kerja pada Sabtu (3/10) malam.
Hal ini disetujui oleh tujuh fraksi yang ada di DPR. Hanya dua fraksi yang menolak, yaitu Fraksi Demokrat dan F-PKS.
“Pemerintah dan DPR hari ini adalah penghamba kaum modal dan tidak peka terhadap penderitaan kaum buruh, petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat kecil lainnya akibat dampak pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi yang tengah berlangsung,” cetus Benny Wijaya.
Benny lantas membeberkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Bahwa, sejak tahun 2013 hingga 2019 investasi yang masuk ke Indonesia terus naik. Namun, itu berkorelasi negatif dengan penyerapan tenaga kerja.
Pada tahun 2016, investasi asing US$28,96 miliar masuk dan menyerap 951.939 tenaga kerja. Pada Triwulan I 2019, investasi senilai US$29,31 miliar hanya menyerap 490.368 tenaga kerja.
“Sejatinya, omnibus law dibuat untuk memberikan karpet merah pada investor dan memperluas kekuasaan oligarki untuk semakin menghisap mayoritas rakyat,” simpul Benny.
Tidak hanya itu, Benny juga menyoroti dalih memudahkan perizinan dan pengadaan tanah dalam RUU Cipta Kerja bakal berdampak pada meningkatnya perampasan tanah dan konflik agraria.
Tanah dan kekayaan agraria, kata Benny, hanya dijadikan barang dagangan yang dapat diambil atau digusur paksa demi kepentingan investor dan kelompok bisnis.
Benny juga menyatakan RUU Cipta Kerja bisa menghidupkan kembali konsep “Domein Verklaring” seperti yang dilakukan pemerintahan kolonial Belanda.
Hal itu tertuang melalui Hak Pengelolaan (HPL) yang bisa memberikan izin HGU secara langsung 90 tahun kepada pelaku-pelaku monopoli tanah di Indonesia. Situasi ini akan semakin memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
“Pemerintah dan DPR justru dengan sengaja menumbalkan nasib mayoritas kaum rakyatnya demi kepentingan oligarki dan kaum pemodal melalui RUU Cipta Kerja,” kata dia.
Senada, Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menilai RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha ketimbang masyarakat kecil.
Wasisto juga menyoroti proses pembahasan yang terkesan tertutup dan dipercepat seolah menutup ruang negosiasi pada buruh untuk menyampaikan aspirasi.
“Saya pikir demikian, menguntungkan pengusaha saja,” kata dia.
Lebih lanjut, Wasisto menyatakan RUU Ciptaker ini dibuat hanya untuk kepentingan ekonomi semata karena pembahasannya hanya dilakukan secara bipartit antara pemerintah dan sektor usaha tanpa melibatkan kelompok buruh.
“Karena bagaimanapun juga merekalah yang paling berjasa atas layanan produksi dan distribusi barang jasa sehingga bisa dikonsumsi khalayak luas,” tandasnya.