Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Infonusantara.net – Puluhan aparat dari Polres Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT) terus bersiaga setelah konflik perebutan lahan antara masyarakat adat Besipae dan pemerintah setempat kembali memanas dua hari berturut-turut, 14 dan 15 Oktober lalu, di area Hutan Desa Pubabu.
Kapolres Timor Tengah Selatan, AKBP Aria Sandy menyebut, pihaknya telah menyiagakan setidaknya 20 personel dari polsek dan polres mencegah bentrok susulan tak kembali terjadi.
“Sejak kemarin ada sekitar 20-an personel dari polres dan polsek untuk mengantisipasi jangan sampai ada bentrok susulan,” kata Aria seperti dikutip Antara, Jumat (16/10).
Konflik perebutan Hutan Adat Pubabu antara masyarakat adat Besipae dan Provinsi NTT kembali memanas sejak bentrok terakhir pecah pada 18 Agustus lalu.
Sebuah video yang ramai beredar di media sosial Twitter beberapa hari lalu menayangkan cuplikan konflik tersebut melibatkan beberapa perempuan.
Dalam rekaman video itu seorang perempuan ditendang dan bahkan dicekik oleh seorang laki-laki berbadan tegap, ada pula ibu-ibu yang dipukul hingga pingsan.
Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman menuturkan, video itu diambil pada Rabu (14/10) lalu. Kata dia, peristiwa itu terjadi saat Satpol PP bersama preman kembali membongkar rumah warga.
Pembongkaran itu merupakan lanjutan proses pembongkaran yang sebelumnya sempat terjadi pada 18 Agustus. Kala itu, aparat gabungan dari polisi dan Satpol PP membongkar paksa tenda dan rumah warga yang tersisa di lokasi sengketa.
Bentrok kembali terjadi sehari setelahnya, pada Kamis (15/10) lalu. Masyarakat Adat Besipae, kata Arman, diserang oleh kelompok masyarakat yang tidak dikenal dari luar wilayah adat Pubabu-Besipae.
“Jadi menurut kawan-kawan di lapangan, situasi ini sengaja diciptakan oleh pemerintah ‘dipetakonflikkan’ antar masyarakat,” kata Arman kepada CNNIndoenesia.com, Jumat (16/10).
Konflik Sejak 1982
Arman menuturkan, konflik perebutan lahan adat Pubabu antara masyarakat adat Besipae dan Pemprov NTT telah dimulai sejak 1982, seiring proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besipae (penggemukan sapi) kali pertama dicanangkan Gubernur NTT kala itu.
Proyek itu bekerja sama dengan pemerintah Australia. Untuk merealisasikan proyek, kata dia, Bupati Timor Tengah Selatan kemudian meminta masyarakat di tiga desa, Oe Kam, Mio, Polo, dan Linamnutu untuk menyediakan lahan. Permintaan itu disetujui para tetua adat setempat.
Namun, sebagai syarat, para tetua adat meminta agar rumah-rumah, kebun, dan tanaman milik masyarakat yang berada di sekitar area proyek tetap dikelola masyarakat. Kontrak, ujar Arman, kemudian disetujui dan berjalan selama lima tahun sejak 1982-1987.
Belakangan, saat Pemprov NTT melalui Dinas Peternakan ingin kontrak kembali dilanjutkan, masyarakat adat tegas menolak kontrak peminjaman hutan adat Pubabu itu.
Menurut Arman, mereka yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITAPKK), membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di instalasi Besipae.
Pada 2013, lanjutnya, penolakan itu berujung pada ambil alih hutan Adat Pubabu oleh pemerintah melalui sertifikat Hak Pakai No.00001 yang terbit tertanggal 19 Maret 2013 untuk memanfaatkan lahan seluas 37,8 meter persegi.
Konflik mulai memanas memasuki penghujung Oktober 2017. Dinas Peternakan didampingi Satpol PP dan polisi membawa surat perintah pengosongan lahan untuk masyarakat Adat Besipae. Hutan Adat Pubabu diklaim sebagai tanah milik pemerintah provinsi.
“David Manisa dan Fans Sae, dua tokoh masyarakat adat Pubabu dipaksa menandatangani surat pernyataan pengosongan lahan. Di bawah ancaman, keduanya tetap menolak,” kata Arman.
Sempat mereda, konflik kembali memanas tiga tahun kemudian atau Mei 2020 lalu. Kedatangan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat ke Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan disambut aksi protes oleh warga.
Usai kedatangan Laiskodat, yang didampingi Bupati Timor Tengah Selatan, Epy Tahun, sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) mulai berkantor di Pubabu. Sejumlah OPD itu antara lain, Badan Aset daerah, Dinas Pertanian, Peternakan, BPBD, hingga aparat Satpol PP dan kepolisian.
Tak lama, pemerintah mulai menghancurkan dan membongkar rumah warga. Kata Arman, setidaknya 30 rumah warga adat Besipae dibongkar selama proses itu. Mereka yang kehilangan rumah, tetap bertahan di lokasi dengan mendirikan tenda di bawah pohon dan mengandalkan sumbangan warga sekitar untuk makan.
“Terjadi intimidasi terhadap warga Masyarakat Adat Besipae yang menolak rumah dibongkar secara paksa. Intimidasi dilakukan oleh oknum polisi pamong praja,” kata Arman.
Dalam insiden itu, polisi juga menangkan dua warga adat Besipae. Mereka yakni, Anton Tanu (18) dan Kornelius Numley (64).
Klarifikasi Pemprov NTT
Pemerintah Provinsi NTT membantah pihaknya telah melakukan tindakan represif terhadap masyarakat adat Besipae dalam penggusuran rumah itu.
Kepala Biro dan Protokol Pemprov NTT, Marius Ardu Jelamu menyebut bahwa sejumlah warga yang menyampaikan penolakan adalah masyarakat pendatang di area hutan adat Pubabu.
Sementara, katanya, warga adat asli Besipae telah mendukung upaya pemerintah yang saat ini tengah mengalihfungsikan sekitar 37 ribu persegi lahan di Hutan Adat Pubabu untuk sektor pertanian.
“Jadi pemilik tanah itu sangat senang karena pemerintah mau mengembangkan potensi di sana. Namun sejumlah orang yang dari dulu tinggal di situ tapi bukan pemilik mereka tidak rela kalau Pemprov mengembangkan lahan itu,” ujar Marius kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/10).
Dia juga turut mengklarifikasi bentrok yang terjadi dua hari lalu. Menurut dia, bentrok itu dipicu karena raja atau tetua adat masyarakat Adat Besipae dipukul oleh warga pendatang yang tinggal di wilayah itu. Masyarakat adat tak terima sehingga terjadi bentrok.
“Masyarakat adat marah karena mereka punya raja dipukul oleh okupan. Makanya warga dari lima desa marah. Makanya mereka mengejar orang-orang ini mereka lari ke hutan,” kata dia.
Source: CNN Indonesia