Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan hingga kini para pendukung HTI masih ada di tengah masyarakat, sementara orang yang diduga terlibat PKI tak jelas nasibnya. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Infonusantara.net
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyandingkan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan PKI yang sama-sama dibubarkan pemerintah dalam waktu berbeda.
Perbedaan pembubaran antara PKI dan HTI itu, kata Mahfud, berdampak pada kehidupan para pendukungnya di tengah masyarakat.
“Muncul pertanyaan, kenapa pemerintah membubarkan HTI, orang-orangnya kok masih? PKI kok orangnya sudah enggak ada,” kata melalui rilis yang dilansir dari CNNIndonesia.com, Rabu (30/9).
Mahfud mengatakan hal ini terjadi lantaran hukum yang diterapkan dalam pembubaran PKI maupun HTI, berbeda.
“[Pembubaran] PKI karena hukum pidana, HTI hukum adminsitrasi. PKI itu kudeta, Undang-undang subversi. HTI tidak memberontak secara pidana. Kalau administrasi, bubarkan dulu, baru disidang. Kalau hukum pidana, jangan dihukum dulu, disidang dulu baru dihukum. Kalau perdata, harus kesepakatan. Misalnya orang nikah,” kata Mahfud.
Untuk saat ini, kata Mahfud, Indonesia memang memiliki undang-undang khusus untuk mengatur ormas. Aturan ini juga mencakup soal pembubaran ormas yang rinciannya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Meski begitu, Perppu tersebut mengatur pembubaran secara administratif, bukan secara pidana seperti Undang-undang subversi yang diterapkan dalam pembubaran PKI.
Mahfud mengatakan HTI dianggap bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Ormas itu dibubarkan dengan Undang-undang Ormas melalui Perppu sebagai turunan aturan tersebut.
“Hizbut Tahrir jelas anti-NKRI. Mereka sebut Pancasila gagal. Demokrasi haram. Yang kemudian berdirinya negara khilafah jadi solusi dan mereka menolak negara kebangsaan,” kata dia.
Mahfud mengatakan tak sedikit ormas yang melakukan aktivitas radikal sehingga bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
“Radikal dalam konteks yang salah, berusaha membongkar kesepakatan yang sudah dicapai, yakni NKRI dan Pancasila dan UUD 45. Kalau mau mengubah, ada caranya, ada prosedurnya. Ikut partai politik,” kata Mahfud.
“Radikalisme tidak boleh dikembangkan, sudah pasti. Tapi kita belum bisa menindak pidana bila orang melakukannya,” tambahnya.
Pemerintah resmi mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia pada Rabu 19 Juli 2017 melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
Pencabutan itu merujuk dari aturan dalam Perppu Nomor 2 tentang Ormas yang kini sudah sah menjadi UU Ormas. Dalam UU Ormas, pemerintah dapat mencabut badan hukum ormas tanpa melalui proses pengadilan.
HTI kemudian menggugat pembubarannya ke PTUN. Merujuk dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) di laman PTUN Jakarta, gugatan HTI bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT dan tertanggal 13 Oktober 2017. Dalam gugatannya, HTI meminta SK Nomor AHU-30.A.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan ditunda pelaksanaannya hingga ada kekuatan hukum yang mengikat.
Sementara pembubaran PKI diatur dalam TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.