Ilustrasi (istimewa) |
INFONUSANTARA.NET
Gelagat pemerintah dan DPR yang ngotot melanjutkan Pilkada 2020 di tengah pandemi virus corona (Covid-19) dinilai berkaitan dengan kehendak para cukong atau pemilik modal yang mengongkosi para pasangan calon.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD juga pernah mengatakan tidak sedikit peserta pilkada yang dimodali oleh cukong.
Pemerhati politik dari Universitas al-Azhar, Ujang Komaruddin menduga pemerintah dan DPR ingin melanjutkan pilkada karena ada tiga kekuatan yang mendesak, yakni partai politik, cukong dan pasangan calon.
“Ini sebenarnya tiga faktor pendesak Jokowi yang membuat pilkada dilanjutkan,” imbuhnya dilansir dari CNNIndonesia.com, Selasa (22/9).
Partai politik mendesak pilkada dilanjutkan karena memang berhasrat mendapat kekuasaan di pemerintah daerah. Begitu pun pasangan calon, yang sudah bertekad untuk segera memimpin pemerintah daerah.
Satu pihak lagi, kata Ujang, yakni pengusaha atau cukong yang berada di balik partai politik dan para pasangan calon. Menurutnya, para pengusaha sudah keluar banyak uang untuk memodali pasangan calon yang didukungnya.
Jika pilkada ditunda, maka harus ada pengeluaran baru. Hal itu tidak dikehendaki pengusaha atau cukong.
“Kita tahu pilkada seperti yang banyak dikatakan oleh orang, oleh Mahfud MD, bahwa para cukong itu kan bermain. Para pengusaha bermain, itu kan sudah banyak keluar uang. Kalau diundur maka akan semakin banyak keluar uang lagi. Kalau Desember kan putus sampai Desember. Jadi desakan pengusaha juga,” kata dia.
Pada 11 September lalu, dalam sebuah diskusi yang digelar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan bahwa mayoritas calon kepala daerah didukung cukong sejak mekanisme pilkada dipilih langsung oleh masyarakat.Tak main-main, dia menyebut 92 persen peserta pilkada didukung cukong.
“Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud dalam diskusi yang disiarkan akun Youtube resmi Pusako FH Unand, pada 11 September lalu.
Mahfud tak menyebut para calon yang dibiayai para cukong ini juga ada di Pilkada Serentak 2020 yang telah memulai masa tahapan. Dia hanya mengatakan kerja sama antara calon kepala daerah dengan para cukong ini sudah pasti terjadi.
Hubungan timbal balik ini biasanya berupa kebijakan yang diberikan para calon kepala daerah yang telah resmi terpilih kepada para cukong tersebut. Apa yang terjadi kemudian, kata Mahfud, dampak kerja sama dengan para cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang.
Keterlibatan cukong dalam pilkada ini juga diungkap oleh salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, sebanyak 82 persen calon Kepala Daerah didanai oleh sponsor.
Akibatnya, tak sedikit calon kepala daerah yang memudahkan para pengusaha mendapat izin ketika sudah memenangkan pilkada.
Lewat DPRD
Pemerhati politik dari Universitas Paramadina, Hendri Budi Satrio melemparkan opsi agar pelaksanaan pilkada dapat dilakukan lewat DPRD. Kendati tak dapat memuaskan semua pihak, namun menurut Hendri, opsi tersebut dapat menjadi alternatif agar sejumlah aspek lain terpenuhi.
Misalnya, terkait gelaran kampanye yang setidaknya bisa dihilangkan. Pemilihan lewat DPRD dengan demikian dapat meminimalisasi kerumunan massa yang berpotensi muncul lewat gelaran-gelaran kampanye para calon peserta pilkada.
Sebab, para bakal pasangan calon hanya cukup menyampaikan visi misi di hadapan anggota dewan tanpa perlu menarik perhatian masyarakat di ruang publik. Keuntungan lain yang didapat lewat pemilihan lewat DPRD adalah meminimalisasi jatuhnya nyawa akibat pandemi yang berpotensi terus meluas.
“Apakah ini kembali orba? Bukan masalah orde baru atau tidak, karena ini kondisinya pandemi Covid. Nyawa masyarakat lebih penting. Kesehatan masyarakat lebih penting,” kata dia.
Namun, untuk mengambil opsi ini, Presiden kata Hendri terlebih dulu harus menggelar forum dialog negara dengan sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara lain, seperti MPR, DPR, KPU, maupun Bawaslu. Presiden nantinya juga perlu mengeluarkan produk hukum baru berupa Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu).
Andri menilai opsi pemilihan lewat DPRD boleh jadi perlu dipikirkan pemerintah sebagai alternatif di tengah desakan masyarakat yang meminta pilkada ditunda karena alasan kesehatan. Pasalnya, baik urusan kesehatan maupun peralihan kepala daerah, keduanya merupakan amanat UU.
Di satu sisi, Andri mengamini alasan pemerintah bawah penundaan pilkada juga dapat memunculkan masalah baru. Sebab, hingga saat ini, tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi bakal berakhir.
Namun, jika toh pemerintah harus mengikuti keinginan masyarakat dengan menunda pilkada, Perppu harus dikeluarkan pemerintah. Perppu tersebut nantinya berisi dua opsi ketetapan, perpanjangan kepala daerah atau penunjukan plt.
“Tapi masalahnya mau berapa lama ini plt, kan kita nggak tahu ditunda sampe berapa lama nanti. Kan kita nggak tahu kapan selesainya ini pandemi. Biasanya kalau ditunda atau diperpanjang kita paham, diperpanjang dua bulan, tiga bulan. Ini kan kita nggak ketahuan,” katanya.
Sumber:CNNIndonesia
INFO NUSANTARA PERSADA