Ketua DPRD Kota Padang Elly Thrisyanti |
Infonusantara (PADANG) -Terbitnya Peraturan Walikota (Perwako) Padang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Kategori dan Besaran Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial tertanggal 24 Januari 2018, mendapat reaksi keras dari anggota DPRD Kota Padang, bahkan pimpinan DPRD Padang turut angkat bicara.
Ketua DPRD Kota Padang, Elly Thrisyanti mengaku terkejut dengan keluarnya Perwako tersebut. Ia menegaskan, yang tahu dengan kondisi masyarakat dan berhadapan langsung dengan masyarakat adalah anggota dewan. Untuk menyerap aspirasi masyarakat, anggota dewan melakukan reses ke daerah pemilihan masing-masing.
“Kita adalah wakil dari rakyat dan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 86 tentang Pokok-pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan, kita melakukan reses di awal-awal tahun. Tujuannya untuk menyerap aspirasi masyarakat tersebut untuk dimasukan ke dalam Pokir tersebut,” kata Elly Thrisyanti dari ruang kerjanya usai rapat pimpinan DPRD Padang bersama jajaran Pemko, Senin (12/3).
Ironisnya, kata Elly, setelah aspirasi masyarakat dimasukan ke dalam Pokir, tahu-tahunya keluar Perwako yang membatasi jumlah bantuan hibah dan bansos kepada masyarakat. Akibatnya, anggota dewan menjadi serba susah nanti berhadapan dengan masyarakat.
Dikatakan Elly, alasan Perwako ini keluar adalah adanya pertanyaan atau temuan dari KPK melalui RAD BPK, Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk percepatan pemberantasan korupsi, adanya evaluasi APBD oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dan adanya temuan pemeriksaan BPK RI yang mempertanyakan dasar penerimaan hibah dari objek yang sama.
“Maksudnya begini, masjid A menerima Rp5 juta, masjid B menerima Rp15 juta, dan masjid C menerima Rp100 juta. Pertanyaannya, kan sama-sama masjid, objek yang sama, kok menerima dalam jumlah yang berbeda-beda.Pertanyaan itu timbul dari pihak-pihak yang melakukan pemeriksaan. Atas dasar tersebut, jelas Elly, Walikota mengeluarkan Perwako tersebut.
Tapi alangkah baiknya, karena DPRD adalah mitra Pemko, dimana berdasarkan Undang-undang MD3 disebutkan Walikota bersama DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Perwako memang hak prerogatif Walikota dan itu boleh-boleh saja, namun kan dia tidak menyebutkan angka. Alangkah baiknya, karena ini menyangkut hajat orang banyak, ajaklah anggota DPRD untuk membicarakan hal ini terlebih dahulu ,” ujarnya.
Ia menegaskan, Perwako tersebut akan menimbulkan image dan preseden yang tidak baik untuk anggota dewan. Karena pada saat reses, anggota dewan sudah menjemput aspirasi masyarakat.
“Misalnya saja, masyarakat meminta anggota dewan untuk menganggarkan melalui pokir untuk perbaikan masjid. Kita minta mereka membuat RAB, dan sudah dibuat dengan anggaran Rp75 juta. Tahu-tahunya kita hanya bisa bantu Rp50 juta. Maka akan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Sudah diberi bantuan pula, nanti menimbulkan keributan,” sebutnya.
Menurut Elly, DPRD hanya menanyakan mengenai batasan angka bantuan. Kalau soal penerbitan Perwako, itu hak Walikota. Namun, karena ini menyangkut langsung dengan anggota dewan, alangkah baiknya DPRD diajak bicara.
“Mau wako mengeluarkan Perwako agak 50 Perwako, silahkan. Tapi ajak kami bicara!. Pimpinan DPRD hanya beberapa orang, ajak bicara. Apa salahnya, kan tidak menyalahi aturan. Kami terkejut saja dengan keluarnya Perwako itu, dimana dengan aturan tersebut berdampak pada pokir dewan ,” tegas politisi Partai Gerindra ini.
Elly mendesak agar Perwako tersebut ditinjau ulang, terutama mengenai angka-angkanya. “Tadi mereka minta waktu, karena Sekda tidak ada. Kita tunggu dalam beberapa hari ini,” pungkas. (Inf)