Ismail Novendra (Kanan) Saat Mengunjungi Ketua PPWI Pusat Wilson Lalengke di Jakarta pada |
Infonusantara (KOPI, Jakarta) – Kalimat yang dipakai untuk artikel ini mungkin belum cukup menggambarkan situasi kongkrit terhadap perilaku “pembangkangan” beberapa oknum anggota Polri atas kebijakan Kapolri. Tapi saya berharap semoga judul di atas bisa memberi penjelasan singkat betapa bobroknya para oknum (walau jumlahnya semakin sedikit ya) bawahan Pak Tito Karnavian yang tega mengangkangi kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan sang pucuk pimpinan di institusi Polri kebanggaan Indonesia itu. Tidak tanggung-tanggung, oknum bawahan Kapolri yang kurang ajar terhadap atasannya itu tidak hanya di level-level penyapu rumput (tukang kepruk para demonstran), tapi juga ada di level penyandang bintang alias perwira tinggi.
Terdapat banyak sekali kasus yang menimpa rakyat, yang notabene adalah majikan para aparat polisi itu, yang diproses tidak sesuai peraturan perundangan yang ada, walaupun Pak Kapolri setiap saat mendengungkan kebijakan PROMOTER, Profesional, Modern, dan Terpercaya. Dengan berbagai dalih dan strategi, para oknum aparat, yang diduga bermental korup, terutama di unit reskrim dan lantas itu, mempermainkan aturan perundangan. Hasilnya, pihak yang salah bisa jadi benar; yang benar bisa jadi salah dan meringkuk di dalam sel.
Kasus paling gress yang ingin dikritisi dalam tulisan ini adalah kriminalisasi terhadap wartawan Jejak News, Ismail Novendra yang pada hari ini, Kamis, 15 Maret 2018, mengadukan nasibnya ke Sekretariat PPWI Nasional, di Jakarta. Korban kriminalisasi oknum Polda Sumatera Barat ini datang ke Jakarta, khusus menyampaikan surat pengaduan *”Mohon Keadilan dan Perlindungan Hukum Atas Dugaan Kriminalisasi Pers”* kepada berbagai pihak, antara lain ke Kapolri, DPR RI, Presiden, dan Kompolnas. Surat pengaduan yang sama juga disampaikan kepada Kadivpropam Polri.
Bagi saya, sebagai sahabat pewarta yang dilapori masalah ini, hal itu membuktikan bahwa di tubuh Polri masih bercokol oknum-oknum petinggi selevel Kapolda yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Masih belum dewasa dalam menyikapi persoalan warga yang berimplikasi langsung maupun tidak langsung terhadap dirinya.
Hal itu dapat dilihat dari sikap dan perilaku arogan, yang tercermin dalam kebijakan menggunakan aturan _semau gue_ terhadap warga yang sekiranya memberitakan sesuatu yang terkesan minus yang terkait dengan si petinggi itu. Dari sekian aturan perundangan, dari sekian pasal, dan dari sekian argumentasi hukum yang tersedia, para oknum ini memilih aturan yang dipandang tidak akan menjerat mereka, dan menjadikan warga yang seharusnya benar menjadi tersalahkan alias terciduk atau tersangka.
Melihat fenomena tersebut, wajar jika ada pihak yang menyarankan agar Kapolri kita yang bertitel profesor doktor itu harus melakukan evaluasi terhadap para bawahan secara periodik, dan langsung mengambil tindakan tegas kepada para oknum Kapolda yang membangkang dan tidak profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Kasus Ismail yang diproses hingga kini sudah P21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Padang, atas laporan dugaan pelanggaran pasal 310 dan 311 KUHP oleh seorang oknum direktur PT BMA, adalah contoh kongkrit perilaku “mengencingi” kebijakan Kapolri yang menandatangani nota kesepahaman antara Kepolisian Republik Indonesia dengan Dewan Pers tentang _”Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.”_ Lagi, sikap Polda Sumatera Barat yang _ngotot_ memproses kasus, yang oleh Dewan Pers dinyatakan melalui suratnya nomor 555/DP/K/X/2017 sebagai _”sengeketa pemberitaan pers”_ yang oleh karenanya harus _”diselesaikan melalui mekanisme penggunaan hak jawab dan hak koreksi,”_ menunjukkan bahwa aparat di Polda ini mengalami *disorientasi hukum akut,* sehingga dengan gagahnya melakukan pelanggaran hukum, minimal telah melanggar kebijakan Kapolri sebagai atasannya. Orang-orang seperti ini amat berbahaya berada di institusi penegak hukum di republik ini.
Membaca fenomena _”degradasi loyalitas”_ beberapa oknum bawahan Kapolri, banyak warga kemudian mengasumsikan bahwa secara makro, saat ini sedang terjadi program pembusukan terhadap Pemerintahan RI yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur, walau belum terlihat masif, melalui tingkah-polah aneh bin ajaib di tubuh institusi berseragam coklat itu. Kondisi ini perlu sekali menjadi perhatian semua pihak, terutama para pencinta NKRI dan pembela pemerintahan yang sah. Rakyat berharap agar Kapolri waspada dan segera melakukan tindakan antisipasi sebelum semuanya terlambat. Wallahu’alam… (WIL/Red)