Ilustrasi (istimewa) |
Infonusantara.net — Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan pihaknya menolak sebanyak tujuh poin kesepakatan antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah untuk dimuat di dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Buruh pun bersiap menggelar aksi mogok nasional.
“Terhadap tujuh hal yang lainnya, buruh Indonesia menolak keras dan tidak menyetujui hasil kesepakatan tersebut,” kata Said dalam keterangannya yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (4/10).
Poin pertama penolakan terkait penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK).
Said berkata, UMK tidak perlu diberikan syarat karena nilai UMK yang ditetapkan di setiap kota/kabupaten berbeda-beda. Ia anggap keliru pernyataan yang menyebutkan bahwa UMK di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara lainnya.
“Kalau diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum di Vietnam,” tutur Said.
Said juga meminta UMSK tetap ada demi memberikan keadilan. Ia memberikan solusi agar penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional.
“Jadi UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK, agar ada fairness,” ucap dia.
Hal kedua yang ditolak buruh terkait pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
Selanjutnya, kata Said, pihaknya menolak soal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Menurutnya, buruh menolak pasal yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup.
Poin keempat terkait karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup. Menurut Said, hal ini menjadi masalah serius bagi buruh. Ia pun mempertanyakan pihak yang akan membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing.
“Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuk dirinya sendiri dengan membayar iuran JKP,” kata Said.
Kelima, buruh menolak jam kerja yang eksploitatif.
Keenam, lanjut dia, buruh menolak penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Menurutnya, dalam draf RUU Omnibus Law Ciptaker yang telah disepakati untuk dibawa ke Rapat Paripurna, cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan terancam hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang.
Terkahir, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
Berangkat dari itu, Said berkata, sebanyak 2 juta buruh akan melakukan aksi mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing.
Dia menegaskan, aksi mogok nasional dilakukan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU Nomor 21 Tahun 2000 yang menyatakan fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
“Mogok nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh di 25 provinsi dan hampir 10 ribu perusahaan dari berbagai sektor industri di seluruh indonesia, seperti industri kimia, energi, tekstil, sepatu, otomotip, baja, elektronik, farmasi,” tuturnya.
Selain aksi mogok nasional, menurut dia, buruh juga akan mengambil langkah strategis lainnya sepanjang waktu sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurutnya, buruh tidak akan pernah berhenti melawan sepanjang RUU Omnibus Law Ciptaker merugikan buruh dan rakyat kecil.
Dalam kesempatan terpisah, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) mendesak agar pengesahan RUU Omnibus Law Ciptaker dibatalkan. Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan bahwa rakyat tidak membutuhkan RUU Omnibus Law Ciptaker.
“Batalkan Omnibus Law seluruhnya. Sidang Paripurna DPR RI tidak mengesahkan dan mengundangkan RUU Ciptaker. Rakyat tidak membutuhkan Omnibus Law,” kata Nining dalam konferensi pers sikap GEBRAK terhadap rencana pengesahan RUU Omnibus Law Ciptaker secara daring, Minggu (4/10).
Ia pun meminta DPR bersama pemerintah lebih berpihak kepada rakyat dengan menghentikan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perampasan hak-hak buruh di massa pandemi Covid-19.
Selain itu, lanjut Nining, DPR dan pemerintah juga harus menghentikan perampasan dan penggusuran tanah rakyat serta menjalankan reforma agraria yang sejati, menghentikan kriminalisasi aktivis dan pembungkaman demokrasi, mencabut UU Minerba, mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Pekerja Rumah Tangga.
Dia berkata, pihaknya juga meminta DPR fokus mengawasi penggunaan anggaran penanganan pandemi Covid-19 dan dampak krisis ekonomi secara nasional dan sistematis.
Sebelumnya, sebanyak tujuh fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Omibus Law Ciptaker ke Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (8/10) mendatang, sementara 2 fraksi lain menolak.
Dua fraksi yang menyampaikan penolakan pengesahan RUU itu adalah Demokrat dan PKS. Sementara tujuh fraksi lain yang menyetujui RUU ini dibahas pada tingkat selanjutnya adalah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PAN dan PPP.
Keputusan dalam Raker Pengambilan Keputusan Tingkat I RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR pada Sabtu (3/10) malam.
Sumber: CNN Indonesia