Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino |
Infonusantara.net — Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Menurutnya, salah satu contoh peluang itu terlihat dari pemberian kewenangan kepada polisi untuk memberikan izin usaha serta pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan.
“Ada peluang korupsi atau abuse of power dalam RUU ini. Contohnya, memberikan wewenang kepada polisi untuk memberikan izin usaha dan pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan,” kata Asfinawati dalam diskusi bertema ‘Kontroversi RUU Ciptaker: Percepatan Ekonomi dan Rasa Keadilan Sosial’ yang berlangsung secara daring, Minggu (4/10) dilansir dari CNN Indonesia.
Asfinawati menduga pemberian kewenangan tersebut terkait dengan langkah Kapolri Jenderal Idham Azis menerbitkan Peraturan Kepolisian Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa (PAM Swakarsa).
Asfinawati berpendapat, proses penyederhanaan izin usaha seharusnya tidak diikuti dengan pemberian kewenangan memberikan izin usaha serta pengawasan terhadap bidang usaha pengamanan kepada polisi.
Menurutnya, pemberian kewenangan untuk polisi itu mengancam kebebasan masyarakat
“Ketika nanti ada konflik agraria, masyarakat adat, dengan buruh kemudian satpam di garda depan memukul lapornya ke polisi. Dalam pengalaman kami, tanpa peraturan itu saja sudah sulit mendorong laporan masyarakat agar ditindaklanjuti oleh kepolisian,” tuturnya.
Lebih lanjut, Asfinawati menyebut revisi Undang Undang (UU) nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), khususnya terkait angkutan alat berat yang juga dilakukan lewat RUU Omnibus Law Ciptaker juga membuka celah korupsi.
Ia mempertanyakan pasal yang menyebutkan bahwa angkutan alat berat yang melebihi dimensinya boleh tetap melintas selama mendapatkan pengawalan dari polisi.
“Ada pasal perubahan terkait UU LLAJ, kendaraan bermotor umum yang angkut alat berat yang lebihi dimensi harus dapat pengawalan kepolisian, kan seharusnya melebihi dimensi enggak boleh jalan,” ucap Asfinawati.
“Memang mengawal enggak pakai biaya? Nah, dari sini peluang korupsi akan terbuka,” imbuhnya.
Di sisi lain, Asfinawati menilai, pemerintah ingin membawa demokrasi Indonesia kembali ke era sebelum reformasi lewat RUU Omnibus Law Ciptaker.
Ia pun mengkritik sikap DPR yang terlihat semakin seperti pihak yang mengesahkan keinginan pemerintah.
“Menurut saya, makna paling kuat yang bisa saya dapatkan adalah pembuat UU ini, khususnya pemerintah, karena ini inisiatif pemerintah sedang berupaya menggerakkan demokrasi ke masa sebelum 1998,” tutur Asfinawati.
Untuk diketahui, sebanyak tujuh fraksi setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Omibus Law Ciptaker ke Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (8/10) mendatang, sementara 2 fraksi lain menolak.
Dua fraksi yang menyampaikan penolakan pengesahan RUU itu adalah Demokrat dan PKS. Sementara tujuh fraksi lain yang menyetujui RUU ini dibahas pada tingkat selanjutnya adalah PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PAN dan PPP.
Keputusan dalam Raker Pengambilan Keputusan Tingkat I RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR pada Sabtu (3/10) malam.