Polisi menggiring sejumlah remaja di halaman Gedung DPRD Sumatera Barat di Padang, Sumatera Barat, Jumat (9/10/2020). (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra) |
Infonusantara.net — Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (Sumbar) menilai penanganan pengamanan polisi terhadap demonstrasi tolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di Padang selama dua hari (8 dan 9 Oktober) tak profesional, bahkan represif. Dalam unjuk rasa itu ratusan orang ditangkap polisi.
Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar terdiri atas sejumlah organisasi, yakni LBH Padang, Walhi Sumbar, Pusat Studi Konstitusi Unand, Perkumpulan Qbar, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat, Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Negara Mahasiswa FISIP Unand, Siriah Sumbar, Aksi Kamisan Padang, Serikat Petani Indonesia Sumbar, PBHI Sumbar, Daulat Institute, Koalisi Perempuan Indonesia Sumbar, serta didukung oleh sejumlah pengacara, wartawan, dan penggiat sosial.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Wendra Putra Rona, mengatakan bahwa setidaknya 250 pelajar dan lima mahasiswa ditangkap dan diinterogasi oleh Polda Sumbar dan jajarannya di Padang. Pihaknya mencatat bahwa pada 9 Oktober setidaknya ada 163 orang (rata-rata pelajar dan anak muda) ditangkap polisi dan dibawa Markas Brimob Sumbar.
“Mereka yang dicokok dan diperiksa tidak didampingi oleh orang tua dan tim penasihat hukum. Berbagai dalih disampaikan oleh kepolisian untuk menghalang-halangi orang tua atau penasihat hukum untuk menemui pelajar dan anak-anak muda yang ditangkap, salah satunya adalah larangan langsung dari kapolda,” tuturnya di Padang, Sabtu (10/10).
Selain itu, pihaknya menerima laporan salah tangkap. Pertama, DRA (15), magang di salah satu CV di dekat Kantor DPRD sumbar. Dia diminta membeli rokok oleh pembimbingnya, tapi tak kunjung kembali. Ternyata dia berada di Mako Brimob Sumbar.
Kedua, GD (14), dari rumahnya menuju bengkel ayahnya di Jalan Khatib Sulaiman. Dia ditunggu ayahnya, tapi tak sampai-sampai. Ternyata dia sudah di Mako Brimob. Ketiga, AA (15) mau pergi berlatih bola. Ketika lewat di depan DPRD Sumbar, dia tak terlihat lagi.Ternyata dia sudah berada di Mako Brimob.
Tindakan polisi tersebut, kata Wendra, mesti menjadi evaluasi diri bagi institusi kepolisian yang selama ini justru mempertontonkan kesewenang-wenangan pengamanan massa aksi secara terang-terangan hingga memunculkan sentimen negatif dari peserta aksi pelajar.
Menurutnya, polisi mengupayakan pendekatan humanis dan kebijaksanaan untuk tidak terpancing emosi dalam penanganan tugas pengayoman terhadap kebebasan berpendapat.
Kepala Bidang Humas Polda Sumbar, Kombes Stefanus Satake Bayu Setianto, mengatakan bahwa Polda Sumbar dan jajarannya mengamankan pelajar pada 9 Oktober untuk mengantisipasi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pihaknya melakukan itu agar pelajar itu tak melakukan tindakan anarkistis, seperti yang terjadi pada demonstrasi 8 Oktober di depan Kantor DPRD Sumbar. Pada 8 Oktober pihaknya menangkap sejumlah pelajar karena melakukan tindakan anarkistis.
“Mereka diidentifikasi, didata, membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya, setelah itu dipulangkan. Tidak ada lagi yang ditahan. Semuanya sudah dipulangkan,” ucap Bayu.
Ia mengklaim bahwa pihaknya melakukan tindakan humanis dan persuasif terhadap demonstran ketika demonstrasi berjalan damai. Namun, ketika ada tindakan anarkistis oleh sejumlah pelajar, barulah pihaknya mengamankan pelajar tersebut.
Sumber: CNN Indonesia