KAMI: Polri Tak Mencerminkan Fungsi sebagai Pelindung Rakyat

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bersama simpatisan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (7/9). (CNN Indonesia/Huyogo)
Infonusantara.net Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menyesalkan penangkapan sejumlah tokoh oleh kepolisian di tengah gelombang penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
 
KAMI menilai aksi penangkapan tokoh-tokoh itu sebagai bentuk tindakan represif institusi Polri.

Hal tersebut disampaikan KAMI dalam pernyataan tertulis, Rabu (14/10). 


Pernyataan resmi itu ditandatangani Presidium KAMI Gatot Nurmantyo, Rochmat Wahab, dan Din Syamsuddin.

“KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat,” bunyi pernyataan tertulis KAMI yang diterima CNNIndonesia.com. 

Untuk diketahui, setidaknya delapan aktivis KAMI di Jakarta dan Medan ditangkap seiring demonstrasi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja di sejumlah daerah. Empat orang ditangkap di Medan, Sumatera Utara, dan empat lainnya ditangkap di Jakarta. 

Mereka yang ditangkap di Medan yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, dan Khairi Amri. Nama terakhir merupakan Ketua KAMI Medan.

Kemudian, empat orang yang ditangkap di Jakarta antara lain, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Kingkin Anida.

Anton, Syahganda dan Jumhur merupakan petinggi KAMI. 


Anton adalah deklarator, sementara Syahganda dan Jumhur merupakan Komite Eksekutif. 

KAMI menyatakan penangkapan mereka, khususnya Syahganda dinilai tidak lazim dan menyalahi prosedur. Mereka menganggap penangkapan tokoh-tokoh KAMI patut diyakini mengandung tujuan politis, dengan menggunakan instrumen hukum. 

Tidak hanya itu, KAMI juga menilai keterangan pers yang disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono kemarin tidak sesuai fakta.

KAMI menilai, konferensi pers tersebut mengandung nuansa pembentukan opini publik.

Selain itu, konferensi pers tersebut juga menggeneralisasi dengan mengaitkan lembaga secara tendensius, serta bersifat prematur, yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung. 


KAMI juga menduga ponsel beberapa tokoh KAMI diretas atau dikendalikan oleh pihak tertentu, sehingga besar kemungkinan disadap atau dikloning. 

Menurut KAMI, hal tersebut sering dialami oleh para aktivis yang kritis terhadap penguasa.

“Termasuk oleh beberapa Tokoh KAMI. Sebagai akibatnya, bukti percakapan yang ada sering bersifat artifisial dan absurd,” demikian kutipan paparan dari rilis KAMI. 

 
Atas dasar itu, KAMI pun meminta agar Polri untuk segera membebaskan para tokohnya dari tuduhan yang dikaitkan dengan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). KAMI menilai banyak pasal karet dalam undang-undang tersebut. 

“KAMI meminta Polri membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung ‘pasal-pasal karet’ dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara,” bunyi pernyataan tersebut. 

Sebelumnya, Polri menyebut delapan orang yang juga diketahui aktivis KAMI itu ditangkap di Medan dan Jakarta terkait unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja.Lima orang di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka penghasutan dan hoaks serta ditahan. 

Lima orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan itu dijerat dengan Pasal 45 A ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu. Ancamannya 6 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. 

 (CNN Indonesia)

Leave a Comment