Polri ungkap Peran 9 Anggota KAMI Tersangka UU ITE & Penghasutan Ciptaker

 

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono di Bareskrim Polri, Jakarta. (Dok:CNN Indonesia)

INFONUSANTARA.NETPolri menjelaskan peran sembilan tersangka terkait penolakan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Sembilan tersangka merupakan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Salah satu tersangka yaitu Khairi Amri, ketua Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Medan. Dia diduga melanggar UU ITE.

Dilansir dari CNNIndonesia.com,Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono menjelaskan, Khairi berperan sebagai admin WhatsApp Group (WAG) KAMI Medan. Di dalam WAG itu, polisi menemukan sebuah foto.

“Foto kantor DPR RI dimasukkan WAG, kemudian tulisannya ‘dijamin komplit kantor sarang maling dan setan’. Itu ada di WAG, ada gambarnya,” kata Argo.

Foto itu akan dijadikan barang bukti untuk diajukan ke jaksa penuntut umum.

Tersangka kedua, JG, berperan membuat rencana skenario seperti kerusuhan 1998. Di antaranya penjarahan toko etnis China dan rumahnya, serta melibatkan preman untuk menjarah.

“Ada sudah kita jadikan barbuk kata-kata seperti itu,” kata Argo.

“Polisi juga menemukan bom molotov dan pylox terkait peran JG”.

Tersangka ketiga, NZ. Argo mengatakan NZ sempat menyampaikan bahwa, “Medan cocoknya didaratin. Yakin pemerintah sendiri bakal perang sendiri sama China.”

Sementara peran tersangka keempat, WRP, yaitu mengajak orang lain membawa bom molotov.

Tersangka kelima yaitu JH, kata Argo, menulis di akun Twitternya bahwa UU Cipta Kerja primitif, investor dari RRT, dan pengusaha rakus. Polisi juga menyita barang bukti berupa ponsel, fotokopi KTP, hardisk, iPad, spanduk, kaos hitam, kemeja, rompi, dan topi.

“Yang bersangkutan modusnya mengunggah konten ujaran kebencian, kemudian tersangka menyebarkan, motifnya menyebarkan buatan berita bohong dan ujaran kebencian berdasarkan SARA,” ujar Argo.

Polisi menjerat JH dengan pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946. JH terancam hukuman 10 tahun penjara.

Tersangka keenam, yaitu DW, dijerat pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946, dengan ancaman 5 tahun penjara.

“DW menulis bahwa bohong kalau urusan omnibus law bukan urusan Istana tapi kesepakatan. Ada beberapa yang kita jadikan barbuk ujaran tersebut,” katanya.

Tersangka ketujuh, AP, menuliskan komentar di akun Facebook dan Youtube, salah satunya tentang multifungsi Polri melebihi Dwifungsi ABRI. Dia juga menulis, ‘NKRI kepanjangan dari Negara Kepolisian Republik Indonesia’.

“Juga ada, disahkan UU Ciptaker bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru,” kata Argo.

AP dijerat dengan pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 dan 207 KUHP, dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.

Terkait peran tersangka kedelapan yaitu SN, yaitu polisi menemukan foto yang diberi keterangan tak sesuai dengan kejadian. Motifnya, kata Argo, motif SN mendukung demonstran dengan berita yang tidak sesuai gambar.

“SN juga sama, dia menyampaikan ke Twitternya, yaitu salah satunya menolak omnibus law, mendukung demonstrasi buruh, belasungkawa demo buruh,” kata Argo.

SN dijerat dengan pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU nomor 1 tahun 1946. Dia terancam hukuman 6 tahun penjara.

Tersangka kesembilan, KA, mengunggah sejumlah butir UU Cipta Kerja di Facebook yang dianggap tidak benar oleh polisi.

“Dia nulisnya 13 butir Ciptaker, semua bertentangan. Ya, intinya dia menyiarkan berita bohong di FB, motifnya menolak,” kata Argo.

SN dijerat pasal 28 ayat 2, 45a ayat 2 UU ITE pasal 14 ayat 1 dan 2 dan pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946.

Sebelumnya, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menilai penangkapan seseorang dengan menerapkan pasal ITE bukan hal baru.

“Ini kerap kali jadi satu pola baru dalam isu besar, contohnya di awal pandemi Kapolri Idham Azis sudah mengeluarkan TR (telegram) pasal penghinaan presiden kemudian isu besar lainnya adalah omnibus law,” kata Rivan,Rabu (14/10).

Leave a Comment