Pemerintah Bubarkan FPI |
INFONUSANTARA.NET — Dosen Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyebut putusan Pemerintah Jokowi membubarkan FPI melalui SKB 6 pejabat tinggi negara dinilai salah fatal.
Pemerintah dianggap salah fokus sampai membuat SKB 6 pejabat negara, yaitu Mendagri, Menkominfo, Menkumham, Kepolisian, Kejaksaan, dan BNPT yang berada di bawah komando Menko Polhukam Mahfud MD.
“Itu SKB-nya salah fatal. Menyatakan FPI secara de jure bubar sejak 20 Juni 2019. Padahal ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan bahwa negara tidak dapat memaksakan suatu organisasi untuk mendaftarkan diri dan memiliki SKT,” ujar Ubedilah Badrun, kepada Kantor Berita Politik RMOL (Group Pojoksatu), Jumat (1/1).
Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menyebut, putusan MK yang dimaksud adalah putusan MK nomor 82/PUU-XI/2013 angka 3.19.4. Sehingga penerbitan SKB tersebut bertentangan dengan putusan MK.
Tak hanya itu, Ubedilah pun menyebut kesalahan lain yang ada dalam SKB tersebut.
“Setelah saya baca isi SKB enam pejabat itu juga ada kesalahan fatal lainya. Misalnya soal 35 orang FPI terlibat tindak pidana terorisme yang disebutkan dalam pertimbangan SKB poin e. Datanya darimana?” kata Ubedilah.
Lanjut Ubedilah, kemungkinan besar datanya berasal dari hasil riset Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme yang dipimpin oleh Benny Mamoto yang juga menjabat sebagai Ketua Harian Kompolnas.
Dalam suatu rilis riset tersebut, Benny Mamoto menyampaikan dokumen berjudul “37 Anggota Jaringan Terorisme Berlatarbelakang FPI”.
“Kalau versi SKB ada 35 yang berlatar belakang FPI, kok beda? Ada apa?” heran Ubedilah.
Ubedilah pun menilai bahwa data riset tersebut patut dipertanyakan dari sisi metodologi, karena tidak dikemukakan secara detail data tersebut valid atau tidak, serta tidak dijelaskan triangulasi data dilakukan.
“Beny Mamoto hanya menyebutkan bahwa sumbernya dari laman pengadilan negeri dengan meneliti satu per satu putusan,” jelasnya.
“Ini patut dipertanyakan metodologinya, bagaimana memastikan mereka anggota FPI atau beririsan dengan FPI?” jelas Ubedilah.
Ubedilah pun mengaku penasaran, sehingga ia membaca siapa saja 37 orang temuan riset lembaga pimpinan Benny Mamoto tersebut.
“Secara umum datanya masih perlu diuji. Uniknya ternyata saya baca di data tersebut ada 10 orang dari 37 orang itu yang tidak disebutkan bagaimana hubungan mereka dengan FPI. Juga bagaimana mereka berkoneksi dan beririsan dengan FPI,” ungkap Ubedilah.
Kesepuluh orang yang dimaksud Ubedilah adalah:
1.Ahmad Yosefa alias Hayat, ditangkap 2011, pelaku bom Gereja Pekuton September 2011.
2.Moch Ramuji alias Muji alias Ahmad alias Kapten alias Botak, ditangkap 13 Mei 2014.
3.Ali Azhari alias Jakfar alias Topan bin Daryono (alm), ditangkap 1 April 2010.
4.Agus Abdillah alias Jodi, ditangkap 17 September 2012.
5.Syaiful Bahri Siregar alias Ipul alias Imam, ditangkap 9 Maret 2010.
6.Munir bin Ismail alias Abu Rimba alias Abu Uteun, ditangkap 17 Maret 2010, kasus pelatihan militer Aceh, kelompok Aceh 2010.
7.Taufik bin Marzuki alias Abu Sayaf alias Alex Nurdin Sulaiman bin Tarmizi, ditangkap 29 September 2010.
8.Muhammad Shibghotullah bin Sarbani alias Mihdad alias Asim alias Mush’ab alias Kholid alias Hani alias Faisal Septya Wardan, ditangkap 11 Juni 2011, kelompok pelatihan militer Aceh.
9.Qoribul Mujib alias Pak Mujib alias Paklek alias Mujiono alias Abdul Sika alias Si Dul alias Muji, ditangkap 12 Juli 2012.
10.Sefariano alias Mambo alias Aryo alias Asep alias Dimasriano, ditangkap 2 Mei 2013, perencanaan bom kedubes Myanmar.
“Selain yang 10 tersebut yang tidak disebutkan konektivitasnya dengan FPI. Yang 27 lainnya juga perlu dibuka. Apa benar mereka semua anggota FPI? Apakah benar mereka pengurus FPI? Anggota FPI? Terkoneksi FPI? Beririsan dengan FPI?” tegas Ubedilah.
Sebagai seorang akademisi, Ubedilah mengaku memahami metodologi ilmiah. Sehingga, ia pun menanyakan validitas data tersebut.
Apalagi, soal FPI sudah menjadi konsumsi publik. Sehingga harus dijelaskan bagaimana para teroris yang telah ditangkap tersebut punya hubungan dengan FPI.
“Kalau hanya asumsi lalu disimpulkan beririsan dengan FPI ini kesalahan fatal,” tegas Ubedilah.
“Berapa banyak anggota FPI itu beririsan dengan ormas NU,” katanya.
“Secara geneologi fiqih ibadah, tareqot, dan tradisinya, anggota FPI itu banyak beririsan dengan NU. Mereka tahlilan, qunut, marhabanan, yasinan dan lain lain,” katanya.
“Lalu apakah bisa saya simpulkan bahwa FPI itu NU dan karenanya terkoneksi dengan teroris? Kesimpulan yang kesalahannya fatal bukan?” papar Ubedilah.
Dengan demikian, jika keputusan penting negara dibuat berbasis data yang tidak valid, dikhawatirkan akan membuat Indonesia berantakan.
“Saya khawatir data yang tidak valid itu dianalisis dan disimpulkan, apalagi oleh Jokowi dan Mahfud MD,” jelasnya.
“Loh kok Jokowi disebut? Yang jelas di atasnya Mahfud MD itu ada Presiden. Betapa bahayanya sebuah keputusan negara bersumber dari data atau analisis yang keliru. Maaf, bukankah ini salah fatal Mas Presiden?” pungkas Ubedilah.(rmol/pojoksatu)
Source:Fajar.co.id