INFONUSANTARA.NET – Meninggalnya Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong secara misterius di dalam pesawat menjadi sorotan.
Helmud Hontong meninggal dunia dalam perjalanan pesawat pulang dari Bali menuju Manado- transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.
Helmud meninggal dunia pada Rabu 9 Juni 2021.
Wafatnya Wakil Bupati tersebut menjadi sorotan karena rupanya pernah menyurati Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), terkait permohonan pembatalan operasi pertambangan emas.
Seperti diketahui, sebelum peristiwa Wakil Bupati meninggal itu, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara ramai diperbincangkan lantaran adanya rencana penambangan emas di kawasan tersebut.
Tak tanggung tanggung, perusahaan penambangan emas bahkan menawar lahan warga Rp5.000 per meter.
Mengutip Kompas.com, perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) telah mengantongi izin lingkungan dan izin produksi pertambangan di gunung purba seluas lebih dari 3.500 hektar.
Adapun total izin wilayah yang dikantongi oleh TMS adalah 42.000 hektar atau setengah dari bagian selatan Pulau Sangihe.
Kekayaan Alam Sangihe
Kepulauan yang terdiri dari 105 pulau (27 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni) dan 15 kecamatan dengan luas wilayah 1.012,94 kilometer persegi itu, dikenal memiliki kekayaan alam berupa Gunung Api Bawah Laut, yaitu Gunung Api Banua Wuhu di Pulau Mahengetang, dan 6 Gugusan Gunung Api Kawio Barat.
Wilayah kepulauan itu juga dihuni berbagai macam hewan, anggrek, kupu-kupu, serta biota bawah laut.
Terdapat pula burung langka seriwang sangihe, atau yang disebut masyarakat lokal sebagai manu’ niu. Burung itu hanya ada di Pulau Sangihe.
Burung endemik ini sempat dianggap punah selama seratus tahun, sampai sekitar 20 tahun lalu, ketika mereka terlihat kembali.
Kendati demikian, burung berukuran sekitar 18 sentimeter, berwarna kebiruan dan pemakan serangga ini jumlahnya kini kritis dan semakin terancam akibat rencana eksploitasi emas yang berpotensi menghancurkan hutan tempat mereka tinggal.
Jika itu terjadi, tak hanya manu’ niu yang terancam punah.
Masih ada sembilan jenis burung endemik lainnya, empat berstatus kritis dan lima lainnya rentan, yang hidup di wilayah hutan lindung Gunung Sahendaruman, Kepulauan Sangihe, yang juga turut terancam.
Tambang Emas di Sangihe
Diketahui, perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS) berhasil mendapat izin wilayah tambang seluas 42.000 hektar di Sangihe.
TMS adalah gabungan dari perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation yang merupakan pemegang saham mayoritas sebesar 70 persen, dan tiga perusahaan Indonesia.
TMS yang memegang kontrak karya (KK) generasi VI sejak 17 Maret 1997 lalu telah mengantongi persetujuan kelayakan lingkungan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 25 September 2020 dan izin operasi produksi dari Kementerian ESDM awal tahun ini.
Artinya, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan.
Dari luas itu, terdapat 4.500 hektare yang memiliki mineralisasi utama yaitu di Kampung Bawone, Binebase, Sade, dan Kupa.
Contoh, berdasarkan hasil eksplorasi perusahaan di Binebas dan Bowone, menurut sumber daya terunjuk, terdapat potensi 114.700 ons emas dan 1,9 juta ons perak. Ditambah, 105.000 ons emas dan 1,05 juta ons perak berdasarkan sumber daya tereka.
Tambang emas ditolak
Koordinator Jatam Merah Johansyah mengatakan, izin wilayah tambang tersebut berpotensi “menenggelamkan” pulau tersebut.
“Di pulau kecil seperti Sangihe, semuanya terbatas, air tawar terbatas, ekologi terbatas. Kalau setengah pulau jadi wilayah tambang, tenggelam itu pulau dalam kerusakan,” kata Merah.
Salah seorang warga Sangihe, seorang ibu rumah tangga, Elbi Pieter, turut menyuarakan penolakan terhadap rencana penambangan emas di tempat tinggalnya.
Dia membayangkan jika perusahaan tambang beroperasi di tanah kelahirannya maka air laut akan tercemar, air minum menjadi beracun, perkebunan dan perbukitan lenyap, serta mata pencaharian penduduk yang mayoritas nelayan hilang.
“Kami tidak percaya janji-janji kesejahteraan, kami hidup bukan dari hasil perusahaan, tapi karena keringat dan kerja keras masyarakat di tempat ini,” katanya.
TMS kini tengah melakukan negosiasi pembebasan lahan dengan warga. Tanah milik warga yang terdampak tambang ditawar Rp 5.000 per meter oleh perusahaan.
Sementara itu, Manager Tambang Perusahaan TMS Bob Priyo Husodo memiliki pandangan berbeda terkait penolakan warga dan potensi kerusakan yang akan ditimbulkan jika perusahaan beroperasi.
“Situasi di desa kami (lingkar tambang) aman sebenarnya, itu ada yang mempolitisir. Tapi sudah lah, prinsipnya kami akan fokus pada pembebasan lahan, kami mendekati satu per satu (warga) untuk pembebasan lahan. Semuanya positif, dukungan masyarakat mengalir,” kata Bob.
Bob mengakui ada warga lingkar tambang di Bowone dan Patimbas yang masih ragu dan menolak, tapi mayoritas dari mereka mendukung aktivitas tambang.
“Lalu, yang perlu ditekankan, luasnya bukan 42 ribu, tapi hanya 65,48 hektare (yang rencananya digunakan untuk pertambangan). Jadi tidak akan mengganggu dan berdampak seperti yang disebut-sebut. Kami menilai ada politisasi di sini,” ujarnya.
Source: terkini.id